Minggu, 26 April 2009

MUI: Vaksin Meningitis Mengandung Enzim Babi

LPPOM MUI Sumatra Selatan menemukan fakta vaksin meningitis mengandung enzim porchin dari babi.

PALEMBANG -- Majelis Ulama Indonesia Sumatra Selatan (MUI Sumsel) mengingatkan pemerintah untuk mengganti vaksin meningitis (radang selaput otak) yang biasa digunakan untuk jamaah haji dan umrah. Pasalnya, vaksin meningitis itu mengandung enzim porchin yang berasal dari babi.

Ketua MUI Sumsel, KH Sodikun, menegaskan, kandungan enzim babi dalam vaksin meningitis terungkap setelah Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) di provinsi itu melakukan penelitian dengan melibatkan pakar dari Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (Unsri).

''MUI Sumsel melakukan penelitian tersebut, setelah tiga bulan lalu mendapat laporan tentang adanya kandungan enzim babi dalam vaksin meningitis,'' ungkap Kiai Sodikun kepada Republika, Jumat (24/4). Setelah mendapat laporan itu, papar dia, LPPOM MUI yang dipimpin langsung ketuanya, Prof Nasruddin Iljas, melakukan penelitian dengan melibatkan pakar dari Unsri, salah satunya, Prof T Kamaludin, direktur Program Pascasarjana Unsri.

Berdasarkan hasil penelitian itu, vaksin meningitis yang biasa digunakan jamaah haji dan umrah mengandung enzim babi. Kiai Sodikun mengaku sudah menyampaikan temuan itu kepada pemerintah dan MUI Pusat untuk ditindaklanjuti. ''Kami meminta pemerintah segera mengganti vaksin yang digunakan sekarang dengan vaksin yang halal dan bebas darin enzim babi yang haram itu,'' ujar Kiai Sodikun menegaskan.

Sampai sekarang, kata dia, permintaan MUI Sulsel itu tidak mendapat tanggapan. ''Melalui informasi yang kami sampaikan lewat media massa, MUI Sumsel berharap Menteri Agama segera tanggap,'' tuturnya. Pihaknya mengingatkan, penggunaan vaksin meningitis yang mengandung enzim babi dapat menghalangi kemabruran jamaah haji.

Menurut Kiai Sodikun, masuknya zat haram dalam tubuh akan sangat berpengaruh pada proses pelaksanaan ibadah haji. Alasannya, kata dia, syarat mabrurnya haji, selain bersih secara jiwa, para jamaah haji juga harus bersih secara raga.
''Kalau tubuh kita kemasukan zat yang diharamkan, maka dapat menghalangi terkabulnya doa. Tapi, bagi mereka yang tidak tahu bisa dimaafkan, yang berdosa adalah orang yang mengambil kebijakan dan mengetahui hal itu tapi tetap melaksanakan,'' ujar Kiai Sodikun mengingatkan.

Ketua LPPOM MUI Sumsel, Prof Nasruddin Iljas, juga mendesak agar pemerintah segera mengganti vaksin meningitis yang biasa digunakan dengan vaksin yang halal. Menurut dia, negara lain seperti Malaysia telah menggunakan vaksin meningitis yang halal dengan menggunakan enzim sapi.

''Jadi, sudah seharusnya pemerintah pusat, khususnya Departemen Agama, segera mencari alternatif pengganti vaksin meningitis yang tidak mengandung binatang babi,'' cetusnya. Nasruddin mengatakan, jika produk makanan, obat-obatan, serta kosmetik mengandung bahan yang tidak halal, maka akan menghambat bahkan menyebabkan ibadah umat Islam sia-sia. ''Ini harus menjadi perhatian. Apalagi sekarang marak beredar makanan yang berasal dari daging babi,'' tambahnya.

Indonesia tampaknya harus belajar kepada Malaysia. Sejak beberapa tahun lalu, Malaysia telah berupaya memproduksi vaksin meningitis halal yang pertama di dunia. Pembuatan vaksin halal itu diperkenalkan Universitas Sains Malaysia (USM). Vaksin meningitis hahal itu akan membawa manfaat bagi jutaan orang terutama yang melakukan ibadah haji.

Untuk memproduksi vaksin meningitis, USM bekerja sama dengan Institut Finlay di Kuba. Malaysia dan Kuba bersama-sama akan menanggung biaya produksi vaksin itu dalam proyek senilai 6 juta ringgit Malaysia. Sebayak 12 orang ahli kedokteran dari USM dan 30 orang ahli dari institut Finlay Kuba akan berkerja sama memproduksi vaksin tersebut yang terbuat dari bahan-bahan dasar yang halal yang diambil dari hewan yang disembelih sesuai dengan aturan Islam.

Langkah itu dilakukan Malaysia guna menghentikan penggunaan vaksin meningitis impor dari negara-negara Barat yang menggunakan bahan dasar dari sari pati hewan babi--binatang yang haram menurut ketentuan Islam. Selama ini, negara-negara Muslim bergantung sepenuhnya kepada vaksin nonhalal, guna memenuhi kebutuhan yang disyaratkan oleh Pemerintah Arab Saudi untuk para calon haji yang akan melakukan ibadah haji maupun umrah. oed/hri

Sumber: Republika

[+/-] Selengkapnya...

Minggu, 12 April 2009

Kunjungan Hb.Umar bin Hafidz

Alhamdulillah pada bulan April 2009 yang bertepatan dengan bulan Rabiul Akhir 1430 H, kita kembali akan kedatangan tamu agung, yaitu Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz, dari Tarim Hadramaut. Beliau akan melakukan kunjungan da’wah beliau khususnya untuk melakukan ijtima’ dengan ulama dari berbagai daerah di Indonesia.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini memang Habib Umar bin Hafidz singgah ke Indonesia selama dua kali, yang pertama Beliau hadir pada bulan Januari yang lalu atau bertepatan dengan bulan Muhamrram 1430 H, dan yang kedua beliau InsyaAllah hadir pada pertengahan bulan April yang jadwalnya terlampir dibawah ini.

InsyaAllah dengan hadirnya guru mulia kita tersebut, banyak manfaat yang bisa kita terima khususnya buat kita pribadi, Umat Islam dan Bangsa Indonesia pada umumnya.

Jadwal Kegiatan Habib Umar bin Hafidz Selama Di Indonesia

Hari

Tanggal

Kegiatan

Keterangan

Rabu

15/04/09

-

Tiba Dijakarta

Kamis

16/04/09

Haul Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi

Di Solo

Jumat

17/04/09

Maulid

Di Solo

Jumat

17/04/09

Sholat Jumat di Masjid Agung Semarang

Jumat

17/04/09

Ijtima’ Ulama Jawa Tengah

Di Semarang (Undangan Khusus)

Sabtu

18/04/09

Ijtima’ Ulama Jawa Tengah

Di Semarang (Undangan Khusus)

Ahad

19/04/09

Ijtima’ Ulama Jawa Timur

Di Batu-Malang (Undangan Khusus)

Senin

20/04/09

Ijtima’ Ulama Jawa Timur

Di Batu-Malang (Undangan Khusus)

Senin

20/04/09

Haul Habib Muhammad bin Idrus Al Habsyi

Di Surabaya

Selasa

21/04/09

Ijtima’ Ulama Kalimantan

Di Banjarmasin (Undangan Khusus)

Rabu

22/04/09

Ijtima’ Ulama Kalimantan

Di Banjarmasin (Undangan Khusus)

Kamis - Ahad

23/04/09 – 26/04/09

Haul dan Maulid

Di Singapura

Ahad

26/04/09

Maulid Di Masjid Istiqlal

Di Jakarta

Senin

27/04/09

Ijtima’ Ulama Sumatera

Di Palembang (undangan khusus)

Selasa

28/04/09

Ijtima’ Ulama Sumatera

Di Palembang (undangan khusus)

Rabu

29/04/09

Ijtima’ Ulama Jawa Barat

Di Ciater (undangan khusus)

Kamis

30/04/09

Ijtima’ Ulama Jawa Barat

Di Ciater (undangan khusus)

Kamis

30/04/09

Perjalanan Ke Australia

Ijtima’ di Sydney



Sumber: DPP Rabithah

[+/-] Selengkapnya...

Sabtu, 04 April 2009

Jika Cinta Rasul, Cinta Ahlul Bayt-nya


Judul: Rasulullah SAW. Mempunyai Keturunan & Allah SWT Memuliakannya

Pengarang: Ir. Sayyid Abdussalam Al-Hinduan, M.B.A.

Penerbit: Cahaya Hati, Cetakan 1 Februari 2008

Tebal: 156 halaman








Jika Cinta Rasul, Cinta Ahlul Bayt-nya

“Kutinggalkan di tengah kalian dua peninggalanku: Kitabullah, sebagai tali yang terentang dari langit sampai ke bumi, dan keturunanku, ahlul baytku. Dua-duanya itu sungguh tidak akan terpisah hingga saat kembali kepadaku di haudh (telaga di surga).”

Telah sama kita maklumi, Rasulullah adalah nabi utusan Allah SWT kepada seluruh manusia. Keberadaannya merupakan rahmat bagi alam semesta. Ayat Al-Quran secara tegas menyatakan hal tersebut, “Dan kami tidak mengutus engkau (wahai Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS Al-Anbiya’: 108). Dialah pula rasul yang paling dicintai oleh Allah dan diberi gelar Al-Habib Al-A`zham (Kekasih yang Teragung).

Dalam ayat lain dikatakan, “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS Al-Qalam: 4).

Tak ada yang mengingkari betapa besar jasa yang telah diberikan oleh Rasulullah SAW. Dengan risalah yang Allah perintahkan untuk disampaikannya, beliau telah menunjukkan jalan yang lurus, telah mengalihkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Beliau telah berjasa membawa umat manusia untuk mengenal Pencipta mereka serta mengabdi dan beribadah kepada-Nya.

Melalui beliaulah kita mengenal apa yang Allah perintahkan dan apa yang Allah larang. Melalui beliau pula kita mengetahui bagaimana cara-cara mendekatkan diri kepada-Nya. Bahkan, bagaimana menjalani kehidupan dalam segala seginya pun, kita dibimbing olehnya. Ya, betapa besar jasa beliau kepada umat manusia.

Seorang yang berakal, dan memiliki perasaan, tentu tak akan mengabaikan begitu saja orang yang telah berjasa kepadanya. Kepada orang yang memberikan pertolongan sedikit saja, hati kecil kita pasti ingin memberikan balasannya. Apalagi kepada orang yang telah memberikan pertolongan tak terkira, yang telah menyelamatkannya sepanjang kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat. Tentu sangat tak layak untuk mengabaikannya dan tak berterima kasih kepadaya.

Permintaan Nabi

Tetapi bagaimana berterima kasih kepadanya atas dakwahnya kepada umat manusia? Salah satunya adalah memberikan apa yang diminta oleh beliau.

Pertanyaannya, apa yang diminta oleh beliau? Mengenai itu, ayat Al-Quran mengatakan, “Katakanlah, hai Muhammad, ‘Aku tidak minta upah apa pun atas hal itu (yakni dakwah risalah) kecuali cinta kasih dalam (terhadap) keluarga’.” (QS Asy-Syura: 23). Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud keluarga di situ adalah keluarga Nabi (ahlul bayt).

Ahlul bayt Rasulullah SAW adalah orang yang paling dekat dengan beliau, yang secara khusus dicintai, dihormati, dan dipeliharanya. Allah memuliakan mereka dan secara khusus dijaga agar tetap suci dan dijauhkan dari kekejian. Banyak hadits yang menunjukkan kemuliaan mereka dan perintah beliau kepada umatnya untuk mencintai mereka.

Rasulullah sangat mencintai dan menyayangi ahlul baytnya. Ibnu Abbas RA mengatakan, “Aku menyaksikan sendiri selama sembilan bulan, setiap hendak shalat di masjid Rasulullah selalu mengatakan, ‘Assalamu `alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sungguh Allah hendak menghapuskan noda dari kalian, wahai ahlul bayt, dan benar-benar hendak menyucikan kalian. Marilah kita shalat. Semoga Allah melimpahkan rahmatnya kepada kalian’.” Ucapan salam ini ditujukan kepada keluarga Ali bin Abi Thalib dan Fathimah.

Tidak cukup dengan mengucapkan salam kepada ahlul baytnya, Rasulullah juga mengingatkan, “Kutinggalkan di tengah kalian dua peninggalanku: Kitabullah, sebagai tali yang terentang dari langit sampai ke bumi, dan keturunanku, ahlul baytku. Dua-duanya itu sungguh tidak akan terpisah hingga saat kembali kepadaku di haudh (telaga di surga).”

Selama ini telah banyak muncul beberapa buku dalam bahasa Arab yang berbicara tentang ahlul bayt. Tetapi yang dalam bahasa Indonesia memang belum banyak. Namun, alhamdulillah kini telah bertambah lagi dengan terbitnya buku Rasulullah SAW. Mempunyai Keturunan dan Allah SWT Memuliakannya, ditulis oleh Ir. Sayyid Abdussalam Al-Hinduan, M.B.A.

Hadits Tsaqalain

Beberapa bahasan penting diuraikan dalam buku ini. Pembahasan diawali dengan kisah tentang sikap kaum kafir Quraisy yang mengejek bahwa Rasulullah tidak mempunyai keturunan karena anak laki-lakinya wafat. Kemudian berturut-turut dibahas ihwal dikukuhkannya ahlul bayt Nabi SAW berdasarkan surah Al-Ahzab ayat 33, bernasabnya semua orang kepada ayahnya kecuali anak-anak Fathimah, lalu tentang hadits tsaqalain, yaitu wasiat Nabi SAW bahwa beliau meninggalkan dua perkara berat kepada umatnya, yakni Al-Quran dan keturunannya.

Hadits tsaqalain itu memang berbeda dengan hadits lainnya yang telah sangat terkenal, yaitu bahwa Nabi SAW meninggalkan dua perkara, Al-Quran dan sunnahnya. Kedua hadits itu ada dan masing-masing tidak membatalkan yang lainnya. Bedanya, hadits tsaqalain tersebut masih belum banyak diketahui kaum muslimin, padahal tidak kalah pentingnya. Dan hadits itu memang menjadi bagian yang sangat urgen dalam pembahasan tentang keluarga Rasulullah, karena merupakan wasiat beliau.

Bahasan lain yang diuraikan dalam buku ini adalah tentang eksisnya keturunan Nabi SAW hingga hari kiamat, wajibnya mencintai keluarga Rasulullah, arti dan leluhur Bani Alawi, dan beberapa hal lain yang terkait. Dibahas pula tentang peranan keturunan Nabi SAW dalam penyebaran Islam.

Kehadiran buku ini diharapkan dapat menambah dan memperkaya khazanah pengetahuan Islam, terutama bagi para pecinta Rasulullah SAW dan keluarganya. Bagi kaum muslimin, mereka dapat lebih memahami persoalan ini, sehingga dapat menambah kecintaan kepada keluarga dan keturunan beliau. Sedangkan bagi mereka yang tergolong keturunan beliau, dapat memahami tugas dan tanggung jawab mereka yang berat.

[+/-] Selengkapnya...

Selasa, 31 Maret 2009

Masalah berdiri ketika pembacaan riwayat maulid Nabi saw

Dalam kitab Insan al-Uyun Fi Sirath al-Amin al-Ma’mun, Imam al-Halaby mengatakan, ‘Kebiasaan berdiri pada saat orang mendengar detik kelahiran Nabi saw disebut dalam pembacaan riwayat maulid memang merupakan suatu bid’ah, akan tetapi itu adalah bid’ah hasanah. Khalifah Umar sendiri menamakan shalat tarawih berjamaah sebagai suatu bid’ah yang baik. Imam Syafii mengatakan :

Apa yang diadakan menyimpang dari kitabullah dan sunnah rasul-Nya atau menyimpang dari pendapat umum para ulama adalah bid’ah dhalalah (sesat)[1]. Sedang apa saja yang diadakan berupa kebajikan dan tidak menyimpang atau menyalahi hal-hal tersebut di atas adalah bid’ah mahmudah (terpuji)’.

Dengan demikian, maka orang berdiri pada saat mendengar detik kelahiran Nabi saw disebut, apalagi kalau perayaan maulid beliau diselenggarakan dengan memperbanyak infaq serta sedekah, semuanya itu merupakan kebajikan terpuji. Al-Allamah Syekh Abdullah bin Abdurrahman Siraj, dalam surat-surat jawaban yang dikirimkan dari Makkah, atas pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan kepadanya, ia menegaskan,

Bahwa berdiri pada saat disebut kelahiran Nabi saw dalam peringatan maulid adalah bid’ah hasanah, dan sudah biasa dilakukan oleh para ulama terkemuka di pelbagai negeri Islam. Dasar alasannya ialah sikap menghargai dan menghormati orang yang agung dan mulia adalah sikap yang baik dan terpuji’.

Jawaban yang terang dan jelas itu dibenarkan dan dipuji oleh para ulama Makkah pada zamannya. Di antara mereka yang terkemuka ialah al-Allamah Syeikh Muhammad Ali bin Husein al-Maliki, al-Allamah Sayid Abbas bin Abdul Aziz al-Maliki, seorang ulama besar yang memberikan pelajaran agama di dalam masjid al-Haram dan datuk dari Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki, mufti Makkah yang baru saja wafat. Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki dalam kitabnya Haula al-Ihtifal Bi-Dzikri al-Maulid al-Nabi al-Syarif, berkata :

‘Mengenai hadirin yang berdiri pada saat pembacaan riwayat maulid sampai detik-detik kelahiran Nabi saw ke alam wujud, memang ada sementara orang yang mempunyai sangkaan sangat keliru dan batil, yang sama sekali tidak berasal dari para ulama. Sepanjang pengetahuan saya, sangkaan buruk seperti itu hanya ada pada orang bodoh yang hadir dalam peringatan maulid Nabi saw dan turut berdiri bersama dengan orang-orang lainnya. Sangkaan buruk itu adalah bahwa orang-orang yang pada saat itu berdiri mengira mempunyai kepercayaan tentang kehadiran Rasulullah saw dengan jasadnya di dalam pertemuan itu. Sangkaan yang sangat keliru itu tambah buruk lagi jika orang itu mempercayai kemenyan dan wewangian yang semerbak dalam pertemuan itu diperuntukan bagi Rasulullah saw, atau mempercayai bahwa air yang diletakkan di tengah-tengah pertemuan itu sebagai persediaan minum bagi Nabi saw’.

Selanjutnya Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki berkata, ‘Kaum muslimin yakin sepenuhnya bahwa beliau itu menghayati kehidupan sempurna di alam barzah sesuai dengan kedudukannya, dan bahwa roh beliau berkelana di alam malakut Allah swt serta dapat hadir dalam setiap pertemuan yang bersifat kebajikan dan menyaksikan seluruh sinar hidayah cahaya ilmu. Demikian pula arwah kaum mu’minin yang setia dan ikhlas dari kalangan umatnya.

Imam Malik berkata, ‘Aku mendengar bahwa roh itu lepas bebas dapat pergi ke mana saja yang dikehendaki’.

Dalam kitab al-Ruh karya Ibnu Qayyim halaman 144, Salman al-Farisi mengatakan, ‘Arwah kaum mu’minin berada di alam barzah dekat dari bumi dan dapat pergi ke mana saja menurut kehendaknya‘

Imam al-Shafuri al-Syafii berkata, ‘Persoalan berdiri pada pembacaan sejarah, pada saat detik kelahiran Nabi saw, tidak ada larangan. Hal ini merupakan bid’ah yang baik. Bahkan ada kelompok yang justru menyatakan sunnah, dan yang lebih ekstrem malah mewajibkan shalat. Hal ini semata-mata untuk menghormati dan memuliakan Nabi saw, dan hukum menghormatinya adalah wajib bagi setiap mukmin. Maka jelaslah sudah hukum tentang berdiri tersebut, hal itu hanyalah merupakan penghormatan dan kemuliaan…’

Al-Barjanzi salah seorang penulis kitab riwayat maulid Nabi saw mengatakan, ‘Berdiri pada saat disebut kelahiran Nabi saw yang mulia itu dipandang baik oleh para Imam ahli riwayat yang memiliki pandangan batin. Oleh karena itu maka bahagialah orang yang dengan mengagungkan kebesaran Rasulullah saw berhasil mencapai maksud dan tujuan yang diinginkan.

Setelah menjelaskan panjang lebar dalil-dalil syar’i yang memandang berdiri dalam peringatan maulid itu sebagai bid’ah hasanah, syaikh Abdullah bin Abdurrahman Siraj kemudian melanjutkan, ‘Alhasil, berdiri pada saat kelahiran Nabi saw disebut dalam peringatan maulid telah menjadi syi’ar bagi Ahlu Sunnah Wal Jamaah, sehingga meninggalkan kebiasaan hormat seperti itu dapat dianggap sebagai mengada-ada. Kebiasaan yang baik itu tidak patut ditinggalkan dan tidak dapat dilarang, bahkan sikap yang hendak meninggalkan atau melarangnya dapat dianggap sebagai tindakan meremehkan Nabi Muhammad saw. Itulah sebabnya al-Maula Abu al-Su’ud al-Imady memfatwakan, bahwa orang harus merasa khawatir berbuat kekufuran bila pada saat orang-orang lain berdiri, ia sendiri duduk tak mau turut berdiri’.

Orang yang hadir berdiri hanya sebagai penghargaan dan penghormatan kepada kebesaran dan keagungan pribadi Rasulullah saw yang terbayang di dalam fikirannya. Itu merupakan soal biasa. Oleh karena itu, orang yang tidak turut berdiri tidak terkena dosa apapun. Memang benar, sikapnya yang tidak mau turut berdiri itu tentu akan dipandang sikap seorang yang tdak mengenal tatakrama, tidak mempunyai perasaan halus. Sama halnya dengan orang yang tidak mengindahkan adat kebiasaan yang berlaku dan telah disepakati oleh orang banyak.

Adapun dalil-dalil yang mendukung kebaikan dari sikap berdiri pada saat disebut kelahiran Nabi saw, pertama, soal berdiri itu sudah lazim berlaku di kalangan kaum muslimin di berbagai pelosok negeri di dunia dan telah dipandang baik oleh para ulama di Timur dan di Barat. Tujuannya ialah menghormati kebesaran pribadi yang sedang diperingati maulidnya. Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah swt, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin pun buruk pula di sisi Allah swt. Sebagaimana hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal :

‘Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, hal itu baik di sisi Allah, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, hal itu pun buruk di sisi Allah swt.

Kedua, Para ahlu al-Fadhl (ulama yang terkemuka) memandang berdiri pada saat kelahiran Nabi saw disebut sebagai ketentuan syariat. Mereka memperkuat pandangan itu dengan berbagai dalil yang berdasarkan sunnah rasul.

Ketiga, Dalam sebuah hadits yang disepakati oleh para ahli hadits disebutkan bahwa dalam khutbahnya yang ditujukan kepada kaum Anshar, Rasulullah saw bersabda, ‘Hendaklah kalian berdiri untuk menghormati pemimpin kalian’. Yang dimaksud pemimpin oleh beliau saw adalah Saad. Perintah beliau itu hanya terbatas bagi sebagian orang.[2]

Keempat, Sudah menjadi kearifan Rasulullah saw, beliau selalu berdiri menghormati setiap orang yang datang kepada beliau. Seperti yang dilakukan beliau pada saat kedatangan puterinya, Siti Fathimah al-Zahra. Dalam hal ini beliau mengakui terus terang bahwa beliau berdiri itu untuk menghormati puteri beliau. Selain itu, sebagaimana telah disebutkan bahwa beliau saw juga memerintahkan orang-orang Anshar suapaya berdiri menghormati kedatangan pemimpin mereka, Saad. Semuanya menunjukkan bahwa berdiri sebagai salah satu bentuk penghormatan merupakan ketentuan syariat. Sehubungan dengan itu jelaslah bahwa pribadi Rasulullah saw jauh lebih berhak daripada pemimpin mana pun juga.

Kelima, ada yang mengatakan bahwa hal itu, Nabi saw lakukan ketika masih hidup dan langsung di depan beliau. Sedangkan dalam peringatan maulid Nabi tidak ada di depan kita. Jawabnya, pembaca riwayat maulid Nabi Muhammad saw mengetengahkan kisah kehadiran Rasulullah saw yang datang ke alam jasmani (alam wujud) ini dari alam nurani, tempat beliau berada jauh sebelum waktu kelahirannya. Lebih lanjut kisah itu menceriterakan kelahiran beliau saw yang saat ini sudah tidak ada lagi di tengah-tengah kita. Dengan demikian maka kehadiran pribadi agung di tengah-tengah kita ini lebih banyak bersifat bayangan daripada sifat beliau yang sesungguhnya, karena beliau saw sudah tidak berada di tengah-tengah kehidupan alam dunia. Kisah atau riwayat yang menghadirkan pribadi beliau secara ruhani, diperkuat kebenarannya oleh kenyataan bahwa Rasulullah saw seorang manusia agung yang berakhlaq sebagaimana dikehendaki oleh Tuhannya. Sehubungan dengan itu Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadits qudsi, ‘Aku menemani orang yang menyebutku’. Dalam riwayat lain beliau bersabda, ‘Aku bersama orang yang menyebutkan’. Tujuan dan maksud kehidupan beliau yang senantiasa bertauladan kepada Tuhannya dan berakhlaq sebagaimana yang dikehendaki oleh-Nya ialah agar beliau dapat selalu menyertai orang yang menyebut roh beliau saw di tempat mana saja. Begitu pula ketika kita membaca lafadz tahiyat ketika melakukan ibadah shalat, dengan berkata, Assalamu’alaika ayyuhan nabi warahmatullahi wabarakatuh, nabi yang kita beri salam jasadnya tidak hadir di depan kita. Dengan demikian maka orang yang menyebut kehadiran Rasulullah saw secara ruhani akan lebih besar bertambah khidmat dan hormat dalam mengagungkan kebesaran junjungan kita Nabi Muhammad saw.

Daftar Pustaka.

1. Abubakar al-Adeni bin Ali al-Masyhur, Syuruth al-Ittishof Liman Yurid Muthola’ah Kutub al-Aslaf.

2. Abu Abdillah Alwi bin Hamid bin Muhammad bin Syahab, Intabih Dinuka Fi Khottor.

3. Muhammad bin Alwi al-Maliki, Haula al-Ihtifal Bi-zikri al-Maulid al-Nabi al-Syarif.

4. ——————–, Mafahim Yajibu An Tusohhah.

5. Zainal Abidin bin Ibrahim bin Smith, al-Ajwibah al-Gholiyah Fi Aqidah al-Firqah al-Najiyah.

[1] Doktor Muhammad Sayid Ahmad al-Munsir, guru besar ilmu aqidah dan filsafat al-Azhar, memberi penjelasan mengenai pengertian bid’ah dan sunnah. Menurutnya, ada yang mengatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka, sebagaimana yang terdapat di dalam hadits shahih. Akan tetapi, mereka itu melupakan sesuatu yang amat penting, yaitu bahwa bid’ah yang disebut sesat (dhalalah) dan yang tempatnya di neraka adalah bid’ah yang diisyaratkan oleh alquran surat al-Syura ayat 21, berbunyi : ‘Mereka yang mensyariatkan sebagian dari agama sesuatu yang tidak diizinkan Allah…’. Jadi bid’ah yang terlarang itu adalah penambahan bentuk peribadatan di dalam agama. Hal ini sama sekali tidak terdapat dalam peringatan keagamaan yang diadakan, seperti peringatan maulid Nabi saw.

[2] Imam al-Qasthalany dalam kitabnya Min Irsyad al-Sari Li Syarh al-Shahih al-Bukhari mengatakan dalam satu riwayat lain Nabi saw berkata, ‘Berdirilah untuk (menghormati) orang yang terbaik di antara kalian’. Berdiri untuk memberikan penghormatan lazim diberikan kepada seorang yang memiliki keutamaan (ahlu al-Fadhl), ahli ilmu, ahli kebajikan dan orang mulia lainnya.


Benmashoor.

[+/-] Selengkapnya...

Kawin dengan bukan sayid

Dari : Abbas
Pertanyaan: Ass. Habib ana mau tanya, apakah syarifah boleh nikah dengan lelaki yang bukan sayid ?

Jawaban:

Terima kasih atas pertanyaan Antum, mengenai pertanyaan ini sebenarnya sudah jelas jawabannya yang dapat Antum baca pada postingan dengan judul Dalil-Dalil Yang Mendasari Kafa’ah Syarifah -1- dan Dalil-Dalil Yang Mendasari Kafa’ah Syarifah -2-.

Seandainya Antum masih belum jelas dapat datang ke Rabithah Pontianak dan kita diskusikan bersama.

Wassalam,
Admin

[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 25 Maret 2009

Mengagungkan Rasulullah Sebagai Cerminan

Alhamdulillah pada saat ini kita berada dalam Bulan Rabiul Awwal yang sering disebut dengan Bulan Maulid, tepatnya tanggal 13 Rabiul Awwal 1429 H. Kemarin adalah tanggal 12 Rabiul Awwal tanggal kelahiran makhluk yang agung, yang dimuliakan oleh Allah Azza Wajalla yaitu Rasululullah Muhammad SAW. Dalam kaitannya dengan kelahiran ini Allah SWT memerintahkan kepada kita semua agar menyambutnya dengan gembira sebagai rasa syukur kepada-Nya sebagaimana tersebut dalam surah Yunus ayat 58 :

قل بـفضل الله وبـرحـمتـه فـبذا لك فـليـفرحوا
“Katakanlah : atas karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah mereka bergembira.”

Adapun tanda-tanda kelahiran Baginda Rasul SAW telah termaktub didalam Kitab Taurat, Zabur maupun Injil. Ka’abul Akhbar berkata : “Aku telah melihat didalam Taurat bahwa Allah telah mengabarkan tentang kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW. Allah berfirman : Ketika bintang yang sudah dikenal dengan nama bintang tsabit itu bergerak dan berjalan dari tempatnya, maka pada saat itulah Nabi Muhammad lahir. Peristiwa ini disaksikan semua orang Yahudi, tetapi mereka tidak menyiarkannya. Dalam Zabur disebutkan : Ketika mata air yang telah kalian kenal kering airnya, tiba-tiba memancarkan air dengan derasnya, maka pada saat itulah kelahiran Nabi Muhammad telah tiba. Pada Injil dijelaskan, Nabi Isa AS berkata kepada kaumnya tentang kelahiran Nabi Muhammad SAW : Ketika pohon-pohon kurma yang telah kering, tiba-tiba keluar daunnya, maka pada saat itulah Nabi Muhammad telah lahir ke dunia.

Kondisi tersebut diatas telah digambarkan Allah dalam firman-Nya pada Surah Al Baqarah ayat 146 :

الـذين ءا تـيـنهم الـكتـب يـعرفـونـه, كما يـعرفون أبـناء هم وإن فـريـقامـنهم لـيكـتمون الحـق وهـم يـعلـمون

“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang Kami beri Alkitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Sesungguhnya sebagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.”

Selanjutnya Abdul Mutaqhlib Kakek Nabi SAW pernah berkata : Ketika aku sedang berada dalam Ka’bah, diwaktu itu Ka’bah masih berisi patung-patung sesembahan, tiba-tiba patung itu jatuh dari tempatnya dalam posisi bersujud di lantai Ka’bah. Kemudian aku mendengar suara dibalik dinding Ka’bah yang berbunyi : Nabi yang dipilih telah lahir, yang akan menghancurkan orang-orang kafir, dan membersihkan diriku dari patung berhala ini, kemudian memerintahkan untuk menyembah kepada Zat Yang Merajai Seluruh Alam ini.
Beberapa keajaiban lain mengiringi kelahiran Rasulullah :

1. Pada umumnya wanita yang mengandung akan selalu mengalami keadaan yang cepat lelah dan merasa was-was akan bayi yang sedang dikandungnya, apakah ia lahir dalam bentuk yang sempurna ataukah tidak, merasa sakit perut dan lain sebagainya. Namun keadaan ini tidak dialami Aminah. ibunda Rasul SAW.
2. Kelahiran Beliau menghalangi naik turunnya Setan ke langit yang selalu akan mencuri dengar pembicaraan Malaikat dan lahir dalam keadaan telah berkhitan.
3. Ibu susuan Rasulullah Halimah As Sa’diyyah, yang sebelum kelahiran Nabi, air susunya kering, spontan melimpah. Dan masih banyak lagi lainnya

Manakala kita menyebut, membicarakan tentang Nabi Muhammad SAW, maka akan teringat dialam pikiran kita tentang keagungan derajatnya yang begitu tinggi dan banyak, diantaranya :

1. Nabi SAW telah menjadi Nabi sedang Adam As masih berada antara roh dan jasad. Ibnu Taimiyah meriwayatkan sebuah teks hadits di dalam Al Musnad dari Maisarah :

لـما قـيل له : مـتى كـنت نـبـينا ؟ قـال : وا دم بـيـن الروح والـجسد
“Ketika dikatakan kepadanya, kapan engkau menjadi nabi hai Muhammad ; Ia menjawab : Aku telah menjadi nabi ketika ruh (nabi) Adam masih terpisah dari jasadnya.”

Dituturkan oleh Qatadah dari Al Hasan dan dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda :
كـنت أول النـبـين فـي الـخلـق و اخـرهم فـي الـبعث
‘Aku adalah Nabi pertama yang diciptakan Allah dan Aku pun yang terakhir dari mereka (para nabi) yang akan dibangkitkan pada hari kiamat.”

2. Rasul SAW telah menjadi rahmat kepada seluruh alam termasuk ummat manusia. Jika nabi-nabi terdahulu diutus hanya untuk kaumnya saja, maka An Nabi SAW diutus untuk semua bangsa didunia. Allah berfirman :

ومـا أرسـلـنك إلا كـافـة للـناس بشـيـرا ونـذيـرا ...
Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada ummat manusia seluruhnya sebagai pembawa kabar gembira dan sebagai pemberi peringatan ...”.(As Saba : 28). Dalam ayat yang lain Allah menyebutkan :

وأرسـلنـك للـناس رسـولا وكـفى بـالله شـهـيدا
“Dan Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada seluruh manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (An Nisa : 79).

3. Allah mengambil janji dari para Nabi dan Rasul bahwa mereka akan taat kepada Nabi Muhammad sebagaimana firman-Nya dalam Surah Ali Imran : 81 yang artinya :

“Dan (Ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, Sungguh apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya. Allah berfirman, Apakah kamu mangakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu : Mereka menjawab. Kami mangakui. Allah berfirman : Kalau begitu saksikanlah (hai para nabi) dan Aku menjadi saksi pula bersama kamu.”

4. Allah bersumpah dengan umur dan kehidupan Nabi SAW yang tidak pernah didapat pada nabi-nabi yang lain :

لـعمرك إنـهم لـفى سـكرتـهم يـعمـهون
“Demi umurmu (Muhammad) sesungguhnya mereka terombang-ambing dalam kemabukan (kesesatan).” (Al Hijr : 72)

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi, Ibnu Abu Syaidah, Ibnu Jarir, Abu Hurairah, Ibnu Murdawih, Ibnu Abbas berkata : Allah Ta’ala tidak pernah bersumpah dengan kehidupan seseorang kecuali dengan kehidupan Nabi Muhammad SAW. Allah berfirman : Demi umurmu … !

5. Keimanan kepada Nabi SAW disatukan dengan keimanan kepada Allah. Allah SWT menyatukan keimanan kepada-Nya dengan keimanan kepada Nabi SAW. Oleh karena itu tidaklah benar keimanan orang yang tidak beriman kepada Rasulullah SAW sedangkan dia mengaku beriman kepada Allah. Allah tidak pernah menyatakan hal itu didalam kitab-Nya kepada seorang nabipun kecuali Nabi Muhammad sebagaimana dalam firman-Nya pada Surat An Nisa : 136 :

يـأ يـها الذ يـن ءا مـنوا ءا مـنوا بـالله ورسـو لـه
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya ...”
6. Taat dan berbaiat kepada Nabi SAW sama dengan taat dan berbaiat kepada Allah. Allah SWT berfirman dalam Surat Al Fath ayat : 10 :

ان الـذيـن يـبا يـعونـك إ نـما يـبا يـعون الله
“Orang yang berjanji setia kepada kamu, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah ...”

Dalam Hadits Qudsi Allah berkata :

يـا مـحمد جـعلـتك ذكـرا من ذ كري, من ذكرك فـقد ذ كرنـي ومن أحـبك فـقد أحـبني
“Ya Muhammad, Engkau Kujadikan sebagai zikir bagi diri-Ku, barang siapa yang menyebut namamu berarti dia telah berzikir kepada-Ku, dan barang siapa yang cinta kepadamu, maka dia telah cinta kepada-Ku.”

Pada bulan sekarang ini di seluruh dunia, ummat Islam bergembira, bersuka cita merayakan peringatan Maulid Nabi SAW dengan berbagai cara. Ada yang dengan membaca maulid, ceramah agama, diskusi dan lain sebagainya. Semua itu dilakukan dalam rangka mengagungkan Rasululllah SAW dan mengagungkan Allah Azza Wajalla dalam mencari rahmat dan ridha-Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah :

و من يـعظم شـعا ئـر الله فـإنـها من تـقوى الـقلوب
“Barang siapa mengagungkan syaiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” (Al Hajj : 32)

Sejarah Peringatan Maulid

Peringatan artinya kegiatan tertentu yang dilakukan untuk mengenang atau memuliakan sesuatu atau peristiwa tertentu. Peringatan maulid ini pertama kali dilakukan sendiri oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan Imam Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad, disebutkan bahwa ketika Beliau saw ditanya oleh sahabat ra tentang alasan mengapa Beliau Saw berpuasa di hari Senin, Beliau menjawab:

فـيه ولـدت وفـيه انـزل علـي
“Pada hari itu aku dilahirkan dan pada hari itu pula aku memperoleh wahyu (Al-Qur’an)”

Imam Jalaluddin As-Suyuthi menjelaskan : “Orang pertama yang menyelenggarakan peringatan maulid Nabi saw adalah seorang penguasa dari Arbil (sebuah kota di Iraq) yaitu Sultan Muzhaffar Abu Said. Peringatan tersebut dihadiri para ulama terkemuka dan orang-orang shaleh dari kaum sufi dengan niat semata-mata untuk taqarrub kepada Allah SWT. Untuk mengisi acara tersebut beliau memerintahkan Ibnu Dihyah menulis kitab khusus mengenai maulid Nabi saw. Kitab tersebut disusun dan dinamakan : At-Tanwir fi Maulid Al-Basir An-Nadzir. Kitab tersebut ditulis pada tahun 604 H. Atas penulisan dimaksud Sultan menghadiahkan 1.000 dinar kepada Ibnu Dihyah. Setelah itu Sultan membuat acara maulid. Dengan maulid tersebut beliau bisa mempersatukan umat sehingga bisa mengalahkan orang-orang kafir. Untuk keperluan maulid tersebut ia mengeluarkan dana sebanyak 300.000 dinar dan di dalam jamuannya dihidangkan : 500.000 ekor kambing panggang, 10.000 ayam, 100.000 buah alpukat, dan 30.000 piring manisan, beliau turun dari singgasana dan menyemprotkan wewangian kepada khalayak yang hadir.

Pendapat Para Ulama Tentang Maulid

1. Imam Hasan Al-Bashri (27 H – 116 H)
Beliau adalah salah seorang tabi’in agung, pernah dido’akan oleh Sayyidina ‘Umar ra, “Ya Allah, jadikanlah ia sebagai seorang yang memiliki pemahaman dalam agama dan dicintai oleh masyarakat.” Beliau bertemu dengan kurang lebih 100 sahabat ra. dan beliau mendapat tempat terhormat dalam pandangan mereka. Sayyidina Anas bin Malik ra suatu ketika ditanya tentang agama, beliau menjawab, “Bertanyalah kepada Al-Hasan, sebab dia masih ingat sedangkan kami telah lupa.” Maka kita lihat pendapat sayyidina Hasan Al-Bashri yang berkata :

ودد ت لو كان لي مـثل جـبل أحـد ذهـبا لأنـفـقـتـه على قـراءة مـو لد الرسـو ل
“Andaikata aku memiliki emas sebesar bukit Uhud, maka akan kudermakan semuanya untuk penyelenggaraan pembacaan Maulid Rasul.”

2. Imam Junaid Al-Baghdadi (wafat 297 H)
Beliau rhm sangat memuliakan Maulid Nabi. Beliau rhm berkata :

من حـضر مولد الرسـول وعـظم قـدره فـقـد فـاز بـالإ يـمان
“Barangsiapa menghadiri maulid Rasul dan mengagungkan (memuliakan) kedudukannya saw, maka dia telah sukses dengan keimanan.”

3. Imam Suyuthi
Dalam kumpulan fatwanya beliau menulis satu bab khusus yang menjelaskan keutamaan peringatan maulid Nabi. Di bawah ini kami nukilkan 2 pernyataan beliau. beliau menyatakan :

a. “Menurutku, inti dari peringatan Maulid Nabi adalah berkumpulnya masyarakat, pembacaan sebagian ayat Al-Qur’an, pembacaan riwayat yang menjelaskan awal perjuangan Nabi saw dan berbagai peristiwa besar yang terjadi saat kelahiran beliau, penyajian makanan kepada hadirin dan mereka pun menyantap dan kemudian pergi tanpa melakukan kegiatan lain. kegiatan semacam ini merupakan sebuah bid’ah hasanah yang pelakunya akan mendapat pahala. Sebab, di dalam peringatan maulid itu terdapat kegiatan pemuliaan Nabi dan perwujudan rasa senang dan bahagia atas kelahiran beliau saw yang mulia.”

b. “Tidaklah sebuah rumah Muslim dibacakan Maulid Nabi di dalamnya, melainkan Allah singkirkan kelaparan, wabah penyakit, kebakaran, berbagai jenis bencana, kebencian, kedengkian, pandangan buruk, serta pencurian dari penghuni rumah itu. Dan jika ia meninggal dunia, maka Allah akan memberinya kemudahan untuk menjawab pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir. dan dia kelak akan berada di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Maha Berkuasa.”

4. Syekh Ibnu Taimiyyah
Beliau rhm menyatakan : “Memuliakan hari Maulid Nabi saw dan menyelenggarakan peringatannya secara rutin banyak dilakukan orang. Mengingat maksudnya yang baik dan bertujuan memuliakan Rasulullah saw adalah layak jika dalam hal itu mereka beroleh ganjaran pahala besar.”

Dalam kitab Hadits juga disebutkan tentang keutamaan memuliakan Rasulullah saw. Di antaranya adalah :

1. Imam Abu Nu’aim dalam kitab Hilyah mengutip dari Wahb bin Munabbih, bahwa ia berkata, : “Seorang dari bani Israil yang berdosa kepada Allah SWT. Laki-laki itu meninggal. Kemudian orang-orang melemparkannya ke waduk tinja. Allah SWT mewahyukan kepada Musa as untuk mengeluarkannya dari sana dan menshalatkannya. Musa berkata, “Ya Tuhanku, Bani Israil telah menyaksikan bahwa orang itu telah bermaksiat kepada-Mu selama 100 tahun.” Allah SWT berfirman, “Memang benar, hanya saja setiap kali ia membuka Taurat dan melihat nama Muhammad, ia menciumnya dan mendekatkannya kepada kedua matanya. Karena itu, Aku menerima hal itu sebagai syukurnya. Aku mengampuninya dan akan Aku nikahkan ia dengan tujuh puluh bidadari.”

2. Imam Bukhari meriwayatkan dari Sayyidina ‘Abbas ra bahwasanya Abu Lahab diringankan siksaannya pada setiap hari Senin karena ia memerdekakan Tsuwaibah lantaran bergembira dengan kabar kelahiran Rasulullah saw yang disampaikan Tsuwaibah kepadanya.

Jika orang yang bermaksiat saja sudah mendapatkan perlakuan seperti itu karena gembira dengan Nabi saw, apakan lagi umatnya yang mencintai Nabi saw, mengorbankan diri karena mencintainya, mengagungkannya, bersahalawat padanya dan melakukan hal-hal dalam memuliaknnya dan menolong agama yang dibawanya.


Pontianak, 12 Rabi’ul Awal 1429 H / 20 Maret 2008
Wassalam,
Ir. Bambang Mulyadi Alhinduan, MBA

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 16 Maret 2009

Dalil-Dalil Yang Mendasari Kafa’ah Syarifah -2-

Hadits-hadits lain yang menjadi dasar pelaksanaan kafa’ah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani, Al-Hakim dan Rafi’i :

فإنهم عترتي, خلقوا من طينتي ورزقوا فهمي و علمي, فويل للمكذّبين بفضلهم من أمتي القاطعين منهم صلتي لا أنزلهم الله شفاعتي

‘… maka mereka itu keturunanku diciptakan (oleh Allah) dari darah dagingku dan dikaruniai pengertian serta pengetahuannku. Celakalah (neraka wail) bagi orang dari ummatku yang mendustakan keutamaan mereka dan memutuskan hubunganku dari mereka. Kepada mereka itu Allah tidak akan menurunkan syafa’atku.’

Adapun makna yang terkandung dalam hadits ini adalah dalam hal nasab mustahil akan terjadi pemutusan hubungan keturunan nabi saw kalau tidak dengan terputusnya nasab seorang anak dan tidak akan terputus nasab seorang anak kalau bukan disebabkan perkawinan syarifah dengan lelaki yang tidak menyambung nasabnya kepada nabi saw. Dan jika telah terjadi pemutusan hubungan tersebut, maka menurut hadits di atas Nabi Muhammad tidak akan memberi syafa’atnya kepada orang yang memutuskan hubungan keturunannya kepada Rasulullah melalui perkawinan syarifah dengan lelaki yang bukan sayid.

Dalam berbagai buku sejarah telah tertulis bahwa khalifah Abu Bakar dan Umar bersungguh-sungguh untuk melamar Siti Fathimah dengan harapan keduanya menjadi menantu nabi. Al-Thabary dalam kitabnya yang berjudul Dzakhairul Uqba halaman 30 mengetengahkan sebuah riwayat, bahwa Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah meminang Siti Fathimah, oleh Rasulullah dijawab : ‘Allah belum menurunkan takdir-Nya’. Demikian pula jawaban Rasulullah kepada Umar bin Khattab ketika meminang Siti Fathimah ra.. Mengapa mereka ingin menjadi menantu nabi ? Dua orang sahabat itu meminang Fathimah, semata-mata ingin mempunyai hubungan kekerabatan dengan Rasulullah dan karena keutamaan-keutamaan yang diperoleh keluarga nabi menyebabkan mereka ingin sekali menjadi menantunya. Mereka mendengar Rasulullah bersabda :

كلّ نسب وصهر ينقطع يوم القيامة إلا نسبي و صهري

‘Semua hubungan nasab dan shihr (kerabat sebab hubungan perkawinan) akan terputus pada hari kiamat kecuali nasab dan shihr-ku‘

Al-Baihaqi, Thabrani dan yang lain meriwayatkan bahwa ketika Umar bin Khattab ra meminang puteri Imam Ali ra yang bernama Ummu Kulsum, beliau berkata :

‘Aku tidak menginginkan kedudukan, tetapi saya pernah mendengar Rasulullah saw berkata : ‘Sebab dan nasab akan terputus pada hari kiyamat kecuali sababku dan nasabku. Semua anak yang dilahirkan ibunya bernasab kepada ayah mereka kecuali anak Fathimah, akulah ayah mereka dan kepadaku mereka bernasab.’ Selanjutnya Umar ra berkata lebih lanjut : Aku adalah sahabat beliau, dan dengan hidup bersama Ummu Kulsum aku ingin memperoleh hubungan sabab dan nasab (dengan Rasulullah saw)’.

Sebuah hal yang ironis, orang lain saja (khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar) ingin menjadi menantu nabi karena ingin mendapatkan keutamaan dan kemuliaan melalui perkawinan dengan keturunan Rasulullah saw , sebaliknya ada sebagian keturunan Rasulullah yang dengan sengaja melepas dan menghilangkan keutamaan dan kemuliaan itu pada diri dan keluarganya khususnya kepada keturunannya hanya karena mereka mengikuti nafsu untuk bebas memilih dan menikahkan anak perempuannya dengan seorang lelaki yang tidak sekufu’ (bukan sayyid).

Seharusnya para keturunan Rasulullah yang hidup saat ini melipatgandakan rasa syukurnya kepada Allah, karena melalui kakeknya Nabi Muhammad saw mereka menjadi manusia yang memiliki keutamaan dan kemuliaan, bukan sebaliknya mereka kufur ni’mat atas apa yang mereka telah dapatkan dengan melepas keutamaan dan kemuliaan diri dan keturunannya melalui pernikahan yang mengabaikan kafa’ah nasab dalam perkawinan anak dan saudara perempuannya, yaitu dengan mengawinkan anak dan saudara perempuannya sebagai seorang syarifah dengan lelaki yang bukan sayyid.

Sebelum pernikahan kedua manusia suci itu, Siti Fathimah pernah dilamar oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lamaran tersebut tidak diterima oleh Rasulullah dengan alasan Allah swt belum menurunkan wahyu-Nya untuk menikahkan Siti Fathimah. Begitu pula dengan Umar bin Khattab, beliau juga melamar Siti Fathimah, akan tetapi lamaran itu pun tidak diterima Rasulullah dengan alasan yang sama ketika menolak lamaran Abu Bakar Ash-Shiddiq. Akan tetapi ketika Ali bin Abi Thalib melamar Siti Fathimah kepada Rasulullah, saat itu juga Rasulullah menerima lamaran Ali bin Abi Thalib dan Rasulullah berkata : ‘Selamat wahai Ali, karena Allah telah menikahkanmu dengan putriku Fathimah’.

Secara selintas memang peristiwa tersebut merupakan pernikahan biasa yang dialami nabi sebagai seorang ayah, dan sebagai utusan Allah yang senantiasa menerima wahyu dari Tuhannya. Akan tetapi dibalik peristiwa itu, terkandung nilai-nilai yang disampaikan Allah kepada nabinya yaitu berupa hukum kafa’ah dalam perkawinan keluarga Rasulullah, dimana Allah mensyariatkan pernikahan Imam Ali bin Abi Thalib dan Siti Fathimah yang keduanya mempunyai hubungan darah dengan Rasulullah dan mempunyai keutamaan ganda yang tidak dimiliki oleh Abu Bakar dan Umar . Mereka adalah ahlul bait, dimana Allah telah menghilangkan dari segala macam kotoran dan membersihkan mereka dengan sesuci-sucinya.

Generasi Nabi saw lahir dari putrinya Fathimah ra. Beliau sangat mencintai mereka, al-Hasan dan al-Husein disebut sebagai anaknya sendiri, bahkan kepada menantunya, suami dari Fathimah ra, Rasulullah saw mengatakan :

‘Seandainya Ali bin Abi Thalib tidak lahir ke bumi maka Fathimah tidak akan mendapatkan suami yang sepadan (sekufu’), demikian pula halnya dengan Ali, bila Fathimah tidak dilahirkan maka Ali bin Abi Thalib tidak pula akan menemukan istri yang sepadan (sekufu’), mereka dan anak-anaknya diriku dan diriku adalah diri mereka‘

Abu Abdillah Ja’far al-Shaddiq, mengatakan, ‘Seandainya Allah tidak menjadikan Amirul Mukminin (Imam Ali) maka tidak ada yang sepadan (sekufu’) bagi Fathimah di muka bumi, sejak Adam dan seterusnya’.

Para ulama seperti Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Syafii dalam masalah kafa’ah sependapat dengan pendapat khalifah Umar bin Khattab yang mengatakan :

لأمنعن فزوج ذوات الأحساب إلا من الأكفاء

‘Aku melarang wanita-wanita dari keturunan mulia (syarifah) menikah dengan lelaki yang tidak setaraf dengannya’.

Menurut mazhab Syafii, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hanbal, seorang wanita keturunan Bani Hasyim, tidak boleh dikawini oleh seorang laki-laki dari selain keturunan mereka kecuali disetujui oleh wanita itu sendiri serta seluruh keluarga (wali-walinya). Bahkan menurut sebagian ulama mazhab Hambali, kalaupun mereka rela dan mengawinkannya dengan selain Bani Hasyim, maka mereka itu berdosa. Imam Ahmad bin Hanbal berkata :

‘Wanita keturunan mulia (syarifah) itu hak bagi seluruh walinya, baik yang dekat ataupun jauh. Jika salah seorang dari mereka tidak ridho di kawinkannya wanita tersebut dengan lelaki yang tidak sekufu’, maka ia berhak membatalkan. Bahwa wanita (syarifah) hak Allah, sekiranya seluruh wali dan wanita (syarifah) itu sendiri ridho menerima laki-laki yang tidak sekufu’, maka keridhaan mereka tidak sah’.

Seorang ulama yang terkenal yang dianggap pendobrak kebekuan pemikiran kaum muslimin seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang seorang Syarif yang putrinya dikawinkan dengan seorang bukan Syarif padahal si ayah tidak setuju, apakah nikah tersebut sah ? Ibnu Taimiyah menjawab :

‘Kafaah dalam hal nasab tidak merupakan persyaratan bagi Imam Malik. Adapun menurut Abu Hanifah, Syafii dan Ahmad –dalam salah satu riwayat darinya– kafaah adalah hak isteri dan kedua orang tua. Maka apabila mereka semua rela tanpa kafu, sahlah nikah mereka. Akan tetapi dalam riwayat lainnya dari Ahmad, kafaah adalah ‘hak Allah’ dan oleh karenanya tidaklah sah nikah tanpa adanya kafaah’.

Dalam kitabnya Bughya al-Mustarsyidin, sayid Abdurahman bin Muhammad bin Husein al-Masyhur, berkata :

‘Seorang syarifah yang dipinang oleh orang selain laki-laki keturunan Rasulullah, maka aku tidak melihat diperbolehkannya pernikahan tersebut. Walaupun wanita keturunan Ahlul Bait Nabi saw dan walinya yang terdekat merestui. Ini dikarenakan nasab yang mulia tersebut tidak bisa diraih dan disamakan. Bagi setiap kerabat yang dekat ataupun jauh dari keturunan sayyidah Fatimah al-Zahra adalah lebih berhak menikahi wanita keturunan Ahlul Bait Nabi tersebut‘.

Selanjutnya beliau berkata :

‘Meskipun para fuqaha mengesahkan perkawinannya, bila perempuan itu ridho dan walinya juga ridho, akan tetapi para fuqaha leluhur kami mempunyai pilihan yang para ahli fiqih lain tidak mampu menangkap rahasianya, maka terima sajalah kamu pasti selamat dan ambillah pendapatnya, jika kamu bantah akan rugi dan menyesal‘.

Dijelaskan oleh Sayyid Usman bin Abdullah bin Yahya (Mufti Betawi) :

‘Dalam perkara kafa’ah, tidaklah sah perkawinan seorang laki-laki dengan perempuan yang tidak sekufu’ apalagi perempuan itu seorang syarifah maka yang bukan sayyid tidak boleh menikahinya sekalipun syarifah itu dan walinya menyetujuinya. Sekalipun para fakih telah berkata bahwa pernikahan itu sah namun para ulama ahlul bait mempunyai ijtihad dan ikhtiar dalam perkara syara’ yang tiada di dapati oleh para fakih lain. Maka sesudah diketahui segala nash ini tentang larangan pernikahan wanita keturunan ahlul bait nabi SAW, sebaiknya menjauhkan diri dari memfatwakan bolehnya pernikahan syarifah dengan selain dari keturunan Rasulullah tersebut dengan berlandaskan semata-mata nash umum fuqaha, yakni nikah itu sah bila si wanitanya ridha dan walinya yang dekatpun ridha. Hal ini berlaku secara umum, tidak berlaku untuk syarifah dengan lain bangsa yang bukan sayyid‘.

Selanjutnya beliau berkata :

‘Daripada yang menjadi godaan yang menyakitkan hati Sayidatuna Fathimah dan sekalian keluarga daripada sayid, yaitu bahwa seorang yang bukannya dia daripada bangsa sayid Bani Alawi, ia beristerikan syarifah daripada bangsa Bani Alawi, demikian juga orang yang memfatwakan harus dinikahkannya, demikian juga orang yang menjadi perantaranya pernikahan itu, karena sekaliannya itu telah menyakitkan Sayidatuna Fathimah dan anak cucunya keluarga Rasulullah saw‘.

Mufti Makkah al-Mukarromah, sayid Alwi bin Ahmad al-Saqqaf , menjelaskan dalam kitabnya Tarsyih al-Mustafidin Khasiyah Fath al-Mu’in:

‘Dalam kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah disebutkan bahwa tidak ada satupun anak keturunan Bani Hasyim yang sederajat (sekufu’) dengan anak keturunan Siti Fathimah. Hal ini disebabkan kekhususan Rasulullah saw, karena anak keturunan dari anak perempuannya (Siti Fathimah) bernasab kepada beliau dalam hal kafa’ah dan lainnya.”

Pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama keturunan Rasulullah saw tersebut merupakan dalil hukum syariat yang dapat dijadikan pedoman dalam pernikahan seorang syarifah. Mengapa demikian ? Dikarenakan mereka adalah hujjah-hujjah Ilahi yang berusaha menjaga umat ini dan memelihara kelurusan terhadap penyimpangan dari aspek-aspek ibadah dan lain-lain. Oleh karena itu, umat ini seyogyanya berpegang teguh kepada mereka serta tidak mendahului dan tidak mengabaikan mereka. Orang yang bersandar dan mengikuti mereka tidak akan tersesat, sebagaimana tidak akan tersesat orang yang bersandar pada alquran, hal tersebut adalah jaminan Rasulullah kepada ummatnya, sebagaimana sabda beliau saw yang dinamakan dengan hadits al-Tsaqalain :

‘Kepada kalian kutinggalkan sesuatu yang jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak akan tersesat : Kitab Allah sebagai tali yang terentang dari langit sampai ke bumi, dan keturunanku, ahlul baitku. Dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh (sorga). Perhatikanlah kedua hal itu dalam kalian meneruskan kepemimpinanku’.

Mengenai ucapan Rasulullah saw, ‘Dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh’ dan ucapan beliau, ‘jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak akan tersesat’, yang dimaksud adalah para ulama yang berasal dari keturunan ahlul bait, tidak berlaku bagi orang-orang selain mereka. Mereka mempunyai keistimewaan sebagai teladan dan berada pada martabat lebih tinggi daripada yang tidak mempunyai keistimewaan sebagai teladan. Kita wajib berteladan kepada ulama dari kalangan mereka, dengan menimba dan menghayati ilmu-ilmu mereka yang telah dijamin oleh Allah swt.

Rasulullah saw dengan ucapannya menunjuk anggota-anggota keluarga keturunan beliau, dikarenakan mereka mempunyai keistimewaan dapat memahami apa yang diperlukan (hikmah-hikmah yang terkandung dalam suatu perkara, yang tidak dapat dipahami oleh ulama selain mereka). Sebab kebaikan unsur penciptaan yang ada pada mereka dapat melahirkan kebaikan akhlaq, dan kebaikan akhlaq akan menciptakan kebersihan dan kesucian hati. Manakala hati telah bersih dan suci ia akan memberikan cahaya terang dan dengan cahaya itu dada akan menjadi lebih cerah. Semuanya itu merupakan kekuatan bagi mereka dalam usahanya memahami apa yang harus dilakukan menurut perintah syariat. Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya yang berjudul al-Aqidah al-Wasithiyah memberi tanggapan terhadap hadits tsaqalain sebagai berikut :

‘Dua kalimat hadis tsaqalain yang menyatakan ‘dua-duanya tidak akan terpisah hingga kembali kepadaku di Haudh’, dan ‘jika kalian berpegang teguh kepadanya sepeninggalanku kalian tak akan tersesat’, hal tersebut tidak hanya berlaku bagi para Imam atau orang-orang terkemuka dari keluarga keturunan Rasulullah saw saja, melainkan berlaku juga bagi semua orang yang berasal dari keluarga keturunan beliau, baik yang awam maupun yang khawas, yang menjadi Imam maupun yang tidak‘.

Perkataan Ibnu Taimiyah semakin menjelaskan bahwa masalah kafa’ah yang dilaksanakan oleh para keturunan Rasulullah, baik ia seorang ulama ataupun ia seorang awam, di mana status mereka sebagai padanan alquran, bukanlah suatu yang bertentangan dengan ajaran Islam atau berdasar kepada adat semata-mata.

Disamping itu, hal itu dilakukan berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam alquran, diantaranya surat Surat Muhammad ayat 22-23 yang berbunyi :

‘Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan ?. Mereka itulah orang-orang yang dila’nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka‘.

Sebagai pelengkap uraian di atas, seorang hakim pengadilan Mesir memfasakhkan pernikahan seorang syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan sayid seperti yang terdapat dalam Fatawa al-Manar, Juz VII, hal 447 ditulis :

‘Sebagaimana yang pernah terjadi dalam kasus peradilan di Mesir pada sekitar tahun 1904, mengenai perkawinan Syekh Ali Yusuf, pemimpin majalah al-Mu’ayyad dengan sayidah Shofiyah binti sayid Abdul Khaliq al-Saadat. Hakim syar’i menetapkan batalnya akad berdasarkan tidak adanya kafa’ah. Karena si perempuan dari golongan Alawiyah sedang syekh Ali Yusuf bukan orang Alawi’.

Sungguh patut disesalkan jika seseorang dalam suatu pernikahan mengangkat wali kuasa sebagai wali nikah (wali hakim) dan dengan sengaja menikahkan wanita tersebut tanpa seizin wali terdekatnya, apalagi tidak sekufu’ serta seorang syarifah yang kawin lari dengan laki-laki yang bukan sayid dikarenakan orang tua mereka tidak menyetujui pernikahan tersebut. Tindakan tersebut merupakan suatu hal yang mengganggu Rasulullah SAW dan menyakitinya apabila terjadi suatu perkawinan terhadap putri-putri dari keturunan beliau dengan tanpa pertimbangan kafa’ah terlebih dahulu, melalaikan amanat dan tidak memperhatikan serta tidak menjaga perihal hubungan nasab keturunan beliau. Sehubungan dengan itu, Allah swt berfirman dalam Alquran :

‘Tidak boleh bagi kalian menyakiti diri Rasulullah saw dan tidak boleh mengawini isteri-isterinya selama-lamanya setelah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu amat besar dosanya di sisi Allah swt’.

Dari ayat tersebut kita dapat memahami dan mengambil kesimpulan, bahwa apabila isteri-isteri Nabi saw saja dilarang bagi orang-orang lain untuk mengawini mereka karena dianggap akan mengganggu Rasulullah saw, di mana ikatan mereka dengan Rasul karena adanya hubungan pernikahan, apalagi terhadap anak cucu beliau yang bersambung karena hubungan nasab , darah dan kefamilian.

Jika kita membaca sejarah, ketika anak perempuan Abu Lahab meninggalkan orang tuanya dan hijrah ke Madinah, beberapa orang dari kaum muslimin berpendapat bahwa hijrah mereka ke Madinah tidak ada gunanya sama sekali, karena orang tua mereka adalah umpan api neraka. Ketika anak perempuan Abu Lahab melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah, beliau bersabda :

‘Kenapa masih ada orang-orang yang masih menggangguku melalui nasab dan kerabatku ? Barang siapa mengganggu nasabku dan kaum kerabatku berarti ia menggangguku, barang siapa menggangguku berarti ia mengganggu Allah SWT‘.

Begitu pula sabda Rasulullah saw :

Amat keras murka Allah swt atas orang-orang yang menyakiti aku di dalam hal keturunanku’.


Benmashoor

[+/-] Selengkapnya...

Minggu, 15 Maret 2009

Nifas & Shalat

Dari : annisa alkadrie
Pertanyaan: Assalamualaikum. wrw.wb.
Habib, brp lama waktu nifas seorang ibu? Ana mendapat beberapa keterangan yg berbeda... Waktu msh sekolah, kita diberitahu wkt nifas 40 hari. Kdg ada jg perempuan yg nifasnya s/d 60 hr.. Umumnya mmg 40 hr.
Tp ade sohib ana yg blm 40 hr, drh nifas sdh berhenti, dia lgs mengerjakan shalat/ibadah lainnya.. Alasannya: biar ndak ketinggalan/tidak byk mengganti shalatnya.
Ana pernah mendengar keterangan seorang ulama, bhw sesungguhnya waktu nifas itu adalah masa istirahat/pemulihan seorang ibu pasca melahirkan. Masa nifas juga adalah karunia ALLAH SWT. berupa keringanan tidak diwajibkan shalat..
Mohon penjelasan lebih lanjut.
Syukran katsir.



Jawaban:

terma ksih; mungkin sudah bnyak kita ketahui bersama namun untuk lebih jelasnya bahwa nifas itu darah yg keluar setelah kosong nya rahim dari kehamilan. paling cepatnya masa nifas "sebentar atau sesaat" maksudnya nifas mungkin terjadi tidak lebih dari satu hari, pada umumnya masa nifas itu 40 hari dan nifas tersebut tidak akan lebih (maksimal) dari 60 hari.. Hukum nifas seperti haid, artinya dia tidak diperkenankan sholat dan tidak pula diwajibkan untk mengganti (qodho) sholatnya karena karunia Allah yang diberikan kepada wanita.

Berkata Ahmad bin Ruslan didlam kitab Zubad :

ادنى النفاس لحظة ستونا اقصاه والغالب اربعونا



Hb. Muhammad Bin Abdurrahman Alkadrie

[+/-] Selengkapnya...

Sabtu, 14 Maret 2009

Dalil-Dalil Yang Mendasari Kafa’ah Syarifah -1-

Pada dasarnya ayat-ayat Alquran yang menyebutkan keutamaan dan kemuliaan ahlul bait secara umum merupakan dalil yang mendasari pelaksanaan kafa’ah dalam perkawinan syarifah. Begitu pula dengan ayat yang terdapat dalam alquran surat al-An’am ayat 87, berbunyi :

ومن أبآئهم وذرّيّتهم وإخوانهم

‘(dan kami lebihkan pula derajat) sebahagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka …’

Ayat di atas jelas memberitahukan bahwa antara keturunan para nabi, (khususnya keturunan nabi Muhammad saw), dengan keturunan lainnya terdapat perbedaan derajat keutamaan dan kemuliaan, hal ini didasari oleh sabda Rasulullah saw yang ditulis dalam kitab Yanabbi’ al-Mawwadah :

نحن اهل البيت لا يقاس بنا

‘Kami Ahlul Bait tidaklah bisa dibandingkan dengan siapapun‘.

Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab Nahj al-Balaghoh berkata, ‘Tiada seorang pun dari umat ini dapat dibandingkan dengan keluarga Muhammad saw’. Imam Ali mengatakan bahwa tiada orang di dunia ini yang setaraf (sekufu’) dengan mereka, tiada pula orang yang dapat dianggap sama dengan mereka dalam hal kemuliaan.

Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Abbas bin Abdul Mutthalib, ketika Rasulullah ditanya tentang kemuliaan silsilah mereka, beliau menjawab :

ان الله خلق الخلق فجعلني في خيرهم من خيرهم قرنا ثم تخير القبائل فجعلني من خير قبيلة ثم تخير البيوت فجعلني من خيربيوتهم فأنا خيرهم نفسا و خيرهم بيتا

‘Allah menciptakan manusia dan telah menciptakan diriku yang berasal dari jenis kelompok manusia terbaik pada waktu yang terbaik. Kemudian Allah menciptakan kabilah-kabilah terbaik, dan menjadikan diriku dari kabilah yang terbaik. Lalu Allah menciptakan keluarga-keluarga terbaik dan menjadikan diriku dari keluarga yang paling baik. Akulah orang yang terbaik di kalangan mereka, baik dari segi pribadi maupun dari segi silsilah‘.

Baihaqi, Abu Nu’aim dan Tabrani meriwayatkan dari Aisyah, Disebutkan bahwa Jibril as pernah berkata :

قال لى جبريل : قلبت مشارق الارض ومغاربها فلم أجد رجلا افضل من محمد وقلبت مشارق الارض ومغاربها فلم أجد بنى أب أفضل من بني هلشم

‘Jibril berkata kepadaku : Aku membolak balikkan bumi, antara Timur dan Barat, tetapi aku tidak menemukan seseorang yang lebih utama daripada Muhammad saw dan akupun tidak melihat keturunan yang lebih utama daripada keturunan Bani Hasyim’.

Dalam Alquran disebutkan bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sebagai contoh para sahabat nabi, mereka adalah orang-orang yang mulia walaupun mereka bukan dari kalangan ahlul bait. Memang benar, bahwa mereka semuanya sama-sama bertaqwa, taat dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya. Persamaan keutamaan itu disebabkan oleh amal kebajikannya masing-masing. Akan tetapi ada keutamaan yang tidak mungkin dimiliki oleh para sahabat nabi yang bukan ahlul bait. Sebab para anggota ahlul bait secara kodrati dan menurut fitrahnya telah mempunyai keutamaan karena hubungan darah dan keturunan dengan manusia pilihan Allah yaitu nabi Muhammad saw. Hubungan biologis itu merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal dan tidak mungkin dapat diimbangi oleh orang lain. Lebih-lebih lagi setelah turunnya firman Allah swt dalam surah Al-Ahzab ayat 33 yang berbunyi :

إنّما يريد الله ليذهب عنكم الرّجس اهل البيت ويطهّركم تطهيرا
‘Sesungguhnya Allah swt bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlu al-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya‘.

Di samping itu Rasulullah saw telah menegaskan dalam sabdanya :

ياأيهاالناس إن الفضل والشرف والمنزلة والولاية لرسول الله وذريته فلا تذ هبن الأباطيل
‘Hai manusia bahwasanya keutamaan, kemuliaan, kedudukan dan kepemimpinan ada pada
Rasulullah Rasulullah dan keturunannya. Janganlah kalian diseret oleh kebatilan’.

Walaupun para ahlil bait Rasulullah menurut dzatnya telah mempunyai keutamaan, namun Rasulullah tetap memberi dorongan kepada mereka supaya memperbesar ketaqwaan kepada Allah swt, jangan sampai mereka mengandalkan begitu saja hubungannya dengan beliau. Karena hubungan suci dan mulia itu saja tanpa disertai amal saleh tidak akan membawa mereka kepada martabat yang setinggi-tingginya di sisi Allah.

Dengan keutamaan dzatiyah dan keutamaan amaliyah, para ahlul bait dan keturunan rasul memiliki keutamaan ganda, keutamaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Keutamaan ganda itulah (khususnya keutamaan dzatiyah) yang mendasari pelaksanaan kafa’ah di kalangan keturunan Rasullulah.

Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai kafa’ah syarifah, marilah kita perhatikan hadits yang menceritakan tentang adanya kafa’ah di kalangan wanita Arab. Telah diceritakan dalam kitab Syarah al-Wasith bahwa Umar bin Khattab akan menikahkan anak perempuannya kepada Salman al-Farisi, kemudian berita tersebut sampai kepada Amr bin Ash, dan beliau berkata kepada Salman : Saya lebih setara (sekufu’) dari pada engkau. Maka Salman berkata : Bergembiralah engkau. Dan selanjutnya dengan sikap tawadhu’ Salman berkata : Demi Allah, saya tidak akan menikah dengan dia selamanya.

Ketika Salman al-Farisi hendak sholat bersama Jarir, salah satu sahabatnya yang berasal dari bangsa Arab, Salman dipersilahkan menjadi imam sholat, kemudian Salman al-Farisi berkata : ‘Tidak ! engkaulah yang harus menjadi imam. Wahai bangsa Arab, sesungguhnya kami tidak boleh mengimami kamu dalam sholat dan tidak boleh menikahi wanita-wanita kamu. Sesungguhnya Allah swt telah memelihara kamu atas kami disebabkan kemuliaan Muhammad saw yang telah diciptakan dari kalangan kamu’. Dalam riwayat lain dari Salman al-Farisi :

نهانا رسول الله أن نتقدم أمامكم أو ننكح نساءكم

‘Sesungguhnya Rasulullah telah melarang kami untuk memimpin (mengimami) kamu atau menikahi wanita-wanita kamu.”

Dari hadits tersebut jelaslah bahwa di kalangan wanita Arab telah ada kafa’ah nasab dalam perkawinan. Hal tersebut dibuktikan oleh penolakan Salman al-Farisi yang berasal dari Persi (Ajam) ketika hendak dinikahkan dengan wanita Arab. Jika dalam pernikahan wanita Arab dengan lelaki non Arab saja telah ada kafa’ah, apalagi halnya dengan kafa’ah dalam pernikahan antara syarifah dimana mereka adalah wanita Arab yang mempunyai kemuliaan dan keutamaan. Kemuliaan dan keutamaan yang didapatkan tersebut dikarenakan mereka adalah keturunan Rasulullah saw.

Sedangkan hadits Rasulullah yang memberikan dasar pelaksanaan kafa’ah syarifah adalah hadits tentang peristiwa pernikahan Siti Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib, sebagaimana kita telah ketahui bahwa mereka berdua adalah manusia suci yang telah dinikahkan Rasulullah saw berdasarkan wahyu Allah swt . Dalam kitab Makarim al-Akhlaq terdapat hadits yang berbunyi :

إنما انا بشر مثلكم أتزوّج فيكم وأزوّجكم إلا فاطمة فإن تزويجها نزل من السّماء , ونظر رسول الله إلى أولاد علي وجعفر فقال بناتنا لبنينا وبنونا لبناتنا

‘Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa yang kawin dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku kepada kalian, kecuali perkawinan anakku Fathimah. Sesungguhnya perkawinan Fathimah adalah perintah yang diturunkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah swt). Kemudian Rasulullah memandang kepada anak-anak Ali dan anak-anak Ja’far, dan beliau berkata : Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami’.

Menurut hadits di atas dapat kita ketahui bahwa : Anak-anak perempuan kami (syarifah) menikah dengan anak-anak laki kami (sayid/syarif), begitu pula sebaliknya anak-anak laki kami (sayid/syarif) menikah dengan anak-anak perempuan kami (syarifah). Berdasarkan hadits ini jelaslah bahwa pelaksanaan kafa’ah yang dilakukan oleh para keluarga Alawiyin didasari oleh perbuatan rasul, yang dicontohkannya dalam menikahkan anak puterinya Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib. Hal itu pula yang mendasari para keluarga Alawiyin menjaga anak puterinya untuk tetap menikah dengan laki-laki yang sekufu sampai saat ini.

Di zaman Syekh Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf, oleh para keluarga Alawiyin beliau diangkat menjadi ‘Naqib al-Alawiyin’ yang salah satu tugas khususnya adalah menjaga agar keluarga Alawiyin menikahkan putrinya dengan lelaki yang sekufu’. Mustahil jika ulama Alawiyin seperti Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam, Syekh Abdurahman al-Saqqaf, Syekh Umar Muhdhar, Syekh Abu Bakar Sakran, Syekh Abdullah Alaydrus, Syekh Ali bin Abi Bakar Sakran dan lainnya, melaksanakan pernikahan yang sekufu’ antara syarifah dengan sayid hanya berdasarkan dan mengutamakan adat semata-mata dengan meninggalkan ajaran datuknya Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah bagi umat, padahal mereka bukan saja mengetahui hal-hal yang zhohir tapi juga mengetahui hal-hal bathin yang didapat karena kedekatan mereka dengan Allah swt.

Para ulama Alawiyin mempunyai sifat talazum (tidak menyimpang) dari alquran dan seruannya, mereka tidak akan berpisah meninggalkan alquran sampai hari kiamat sebagaimana hadits menyebutkan mereka sebagai padanan alquran, dan mereka juga sebagai bahtera penyelamat serta sebagai pintu pengampunan. Rasulullah mensifatkan mereka ibarat bingkai yang menyatukan umat ini. Berpegang pada mereka dan berjalan di atas jalan mereka adalah jaminan keselamatan dan tidak adanya perpecahan serta perselisihan, sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas :

النجوم أمان لأهل السماء وأهل بيتي أمان لأهل العرض

‘Bintang-bintang adalah sebagai pengaman bagi penduduk bumi dari tenggelam (di lautan) dan ahlil baitku sebagai pengaman bagi penduduk bumi (dari perselisihan)‘.

Tidaklah alquran memperkenalkan mereka kepada umat, melainkan agar umat itu memahami kedudukan mereka (dalam Islam) serta agar umat mengikuti dan menjadikan mereka rujukan dalam memahami syariah, mengambil hukum-hukumnya dari mereka. Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam syairnya menulis :

Ahlul Bait Musthofa, mereka adalah orang-orang suci

Mereka pemberi keamanan di muka bumi

Mereka ibarat bintang-bintang yang bercahaya

Demikianlah sunnatullah yang telah ditentukan

Mereka ibarat bahtera penyelamat

dari segala topan (bahaya) yang menyusahkan

Maka menyelamatkan dirilah kepadanya

Dan berpegang teguhlah kepada Allah swt

serta memohon pertolongan-Nya

Wahai Tuhanku, jadikanlah kami orang yang berguna atas berkah mereka

Tunjukkanlah kepada kami kebaikan dengan kehormatan mereka

Cabutlah nyawa kami di atas jalan mereka

Dan selamatkanlah kami dari berbagai macam fitnah.

Kepada siapapun yang mempunyai pikiran bahwa ulama Alawiyin yang melaksanakan pernikahan antara syarifah dengan sayid berdasarkan adat semata-mata, dianjurkan untuk beristighfar dan mengkaji kembali mengapa para ulama Alawiyin mewajibkan pernikahan tersebut, hal itu bertujuan agar kemuliaan dan keutamaan mereka sebagai keturunan Rasulullah saw yang telah ditetapkan dalam alquran dan hadits Nabi saw, tetap berada pada diri mereka. Sebaliknya, jika telah terjadi pernikahan antara syarifah dengan lelaki yang bukan sayid, maka anak keturunan selanjutnya adalah bukan sayid, hal itu disebabkan karena anak mengikuti garis ayahnya, akibatnya keutamaan serta kemuliaan yang khusus dikarunia oleh Allah swt untuk ahlul bait dan keturunannya tidak dapat disandang oleh anak cucu keturunan seorang syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan sayid.

Benmashoor

[+/-] Selengkapnya...