Jumat, 27 Februari 2009

Maulid Nabi saw Adalah Nikmat Terbesar

Allah swt memerintahkan semua hambanya agar selalu mengingat akan segala karunia nikmat-Nya, baik yang dilimpahkan secara umum maupun secara khusus kepada seseorang. Perintah tersebut tercantum dalam kitabullah berupa ayat-ayat muhkamat yang tidak memerlukan penta’wilan atau penafsiran apa pun juga. Tidak diragukan lagi oleh segenap kaum muslimin.

Tidak diragukan lagi oleh segenap kaum muslimin sejak masa kelahiran Islam hingga abad kita sekarang ini, bahwa junjungan kita Nabi Muhammad saw baik dalam kelahirannya maupun dalam semua hal-ihwalnya adalah satu nikmat besar, bahkan yang terbesar, dari segala nikmat yang dilimpahkan Allah swt kepada hamba-hamba-Nya secara umum. Dari nikmat yang terbesar itu segenap manusia, terutama kaum muslimin, memperoleh manfaat yang menjamin kebahagiaannya di dunia dan akhirat.

Dalam kitab shahih Bukhari diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas, bahwa pada suatu saat ketika Rasulullah saw saw menyebut ayat suci yang artinya ‘Tahukah engkau orang yang menggantikan nikmat Allah dengan kekufuran[1]. Beliau mengatakan, ‘Demi Allah, mereka itu adalah orang-orang kafir Quraisy, sedangkan aku adalah nikmat Allah’.

Jika Rasulullah saw sendiri telah menegaskan bahwa beliau adalah nikmat Allah, maka dengan sendirinya kelahiran beliau di alam wujud ini pun merupakan nikmat juga. Eksistensi seseorang manusia pilihan Allah si alam wujud ini tidak dapat dipisahkan sama sekali dari kelahirannya, sebab kelahiran itu sendiri adalah awal proses eksistensinya di alam wujud. Akal sehat tidak dapat mengingkari kenyataan itu sebagai suatu kebenaran, dan setiap orang beriman tidak akan mengingkari kebenaran

Kelahiran Nabi Muhammad saw adalah nikmat umum yang dilimpahkan Allah swt dan harus disyukuri dan diingat atau diperingati oleh setiap hamba-hamba-Nya. Keharusan ini terdapat dalam alquran. Dengan demikian maka kesimpulan logis yang wajib diterima dengan baik ialah mengingat atau memperingati kelahiran Nabi Muhammad saw merupakan suatu hal yang diperintahkan Allah swt.

Kalau setiap prakarsa baru dinilai sebagai bid’ah dhalalah dan diharamkan pelaksanaannya seperti diantaranya melaksanakan peringatan maulid Nabi saw, tentu khalifah Abubakar dan Umar tidak akan memerintahkan Zaid bin Tsabit supaya mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat alquran, bahkan pasti akan melarang dan mengharamkannya. Jika terjadi yang demikian itu. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana keadaan Islam dan kaum muslimin yang tidak mempunyai mushaf tertulis yang satu dan sama.

Para sahabat Nabi saw pada awalnya berpendapat bahwa pembukuan alquran adalah bid’ah sayyiah (bid’ah yang tercela). Mereka khawatir jika pembukuan itu akan mengakibatkan rusaknya kemurnian agama Islam. Umar bin Khattab sendiri sampai merasa takut jika di kemudian hari alquran akan lenyap karena wafatnya para sahabat Nabi saw yang hafal alquran. Ia mengemukakan kekhawatirannya itu pada khalifah Abubakar dan mengusulkan agar khalifah memerintahkan pembukuan alquran, tetapi ketika itu khalifah Abubakar menolak usul Umar. Namun tidak berapa lama kemudian Allah swt membukakan fikiran khalifah Abubakar, maka sepakatlah dua orang sahabat Nabi saw itu memerintahkan pelaksanaan pembukuan alquran. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya :

‘Setelah banyak penduduk Yamamah meninggal dunia akibat suatu peperangan, Abubakar memanggil saya (zaid bin Tsabit) untuk datang ke tempatnya dan di sana sudah terdapat Umar. Abubakar mengatakan kepada saya : Aku didatangi Umar dan ia berkata kepadaku, bahwa kematian banyak menimpa orang-orang penghafal alquran, yaitu pada waktu terjadinya perang Yamamah. Ia sangat khawatir jika kematian akan menimpa lebih banyak lagi para penghafal alquran di berbagai tempat, sehingga akan banyak sekali ayat-ayat alquran yang hilang. Ia berpendapat, sebaiknya aku memerintahkan pembukuan alquran. Ketika itu aku menjawab, bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw ? Umar berkata : itu merupakan hal yang baik. Dalam keadaan Umar masih terus mengulangi usulnya, Allah swt membukakan dadaku seperti telah dibukakan pada dada Umar, dan akhirnya aku sependapat sama dengan Umar’.

Jika segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh kaum muslimin segenerasi dengan Nabi saw, kemudian sekarang ini dilakukan oleh kaum muslimin seluruhnya dinilai sebagai prakarsa sesat, maka kita dapat bertanya dan memeriksa diri kita masing-masing, bid’ah atau prakarsa sesat manakah yang kita tidak hayati sekarang ini. Segi kehidupan kita sebagai individu maupun sebagai masyarakat, dewasa ini hampir seluruhnya tidak sama dengan segi-segi kehidupan kaum msulimin yang hidup sezaman dengan Nabi Muhammad saw dan para khalifah Rasyidun.

Semakin jelas, bahwa syariat Islam sama sekali tidak melarang diadakannya peringatan-peringatan maulid Nabi saw bahkan menganjurkannya sebagai suatu prakarsa baik yang perlu dilestarikan pengamalannya, mengingat banyaknya manfaat yang berguna bagi kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. Yang dilarang oleh syariat ialah bentuk-bentuk peringatan atau perayaan yang mengundang berbagai macam maksiat, atau mengandung berbagai macam jenis kemungkaran seperti pesta pora yang bersifat mubadzir, bukan peringatan maulidnya yang dilarang, melainkan kemungkaran itulah yang dilarang. Kebajikan tidak dapat dicampur adukan dengan kemungkaran, sama dengan yang haq tidak boleh dicampuradukan dengan yang batil. Kalau alasannya adalah bahwa melaksanakan peringatan maulid itu tidak mempunyai dalil aqli (akal) dan syar’i, maka jawabannya sudah jelas pada uraian sebelumnya, orang yang melarang justru itulah yang seharusnya memberikan dalil.

Tidak ada salahnya jika kita menyelenggarakan peringatan maulid dengan mengadakan pidato-pidato, ceramah-ceramah dan pelajaran-pelajaran khusus, baik di masjid, balai pertemuan maupun melalui mass media, selama peringatan itu diselenggarakan menurut cara-cara yang sesuai dengan ajaran syariat, tidak riya[2] dan tidak berlebih-lebihan. Kegiatan seperti itu diharapkan dapat mengingatkan kaum muslimin kepada soal-soal yang bersangkutan dengan agama mereka, paling tidak yang hadir mendapatkan kesegaran jiwa dan melepaskan sementara kesibukan sehari-harii mengenai urusan duniawi yang tidak ada habis-habisnya. Mengenai manfaat peringatan, Allah swt telah berfirman, ‘Dan ingatkanlah, karena peringatan itu sesungguhnya bermanfaat bagi orang-orang yang beriman’.[3]

[1] Surat Ibrahim ayat 28.

[2] Mencari nama baik dan pujian orang demi memperoleh status sosial di masyarakat dan mencari manfaat keduniaan lainnya.

[3] Surat al-Dzariyat ayat 55.

Sumber: Benmashoor

[+/-] Selengkapnya...

Rabu, 25 Februari 2009

Kabar Gembira Bagi Pecinta Ahlu Bait Nabi saw

Ahlu bait Rasululullah saw memang memiliki kemuliaan khusus dan beliau SAW pun telah menunjukkan perhatiannya yang amat besar kepada mereka. Di masa hidupnya, beliau berulang-ulang menghimbau agar umatnya mencintai dan menyayangi mereka. Dengan itu pula Allah swt telah memerintahkan dalam firmannya :

‘Katakanlah, Hai Muhammad : Aku tidak minta upah (imbalan) apa pun atas hal itu (dakwah risalah Islam), kecuali agar kalian mencintai keluargaku’.[1]

Ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi saw tidak meminta kepada kaum muslimin atas penyampaian agama yang lurus (Islam) keuntungan duniawi, tetapi Nabi saw hanya meminta agar kaum muslimin mencintai Allah swt dan Rasul-Nya dalam mendekatkan diri kepada Allah swt dengan cara mencintai keluarga Nabi saw.

Karena itu, sudah sepatutnya seluruh kaum muslimin memenuhi hati mereka dengan kecintaan dan kasih sayang kepada ahlu bait serta menghormati dan memuliakan mereka, demi kekerabatan mereka dengan Rasulullah saw, tanpa berlebih-lebihan dan sikap keterlaluan. Rasulullah saw bersabda :

‘Dua golongan akan binasa akibat sikapnya terhadap Ali, yaitu golongan yang mencintainya secara berlebih-lebihan sehingga kecintaannya itu membawa mereka ke jalan yang tidak benar; dan golongan yang lain ialah mereka yang membenci Ali secara berlebih-lebihan sehingga kebenciannya membawa mereka ke jalan yang tidak benar. Orang yang bersikap baik terhadap diriku ialah mereka yang mengikuti jalan yang ditempuh oleh jamaah terbanyak. Karena itu hendaklah kalian berpegang pada jalan itu. Ingatlah bahwa pertolongan Allah dilimpahkan kepada jamaah. Janganlah kalian bercerai-berai, karena orang yang memisahkan diri dari jamaah akan menjadi mangsa setan, sebagaimana kambing akan menjadi mangsa srigala bila ia terpisah dari rombongannya…‘

Bagi para pecinta ahlu bait Nabi saw, Rasulullah saw telah memberikan kabar gembira kepada mereka. Mereka yang mengikuti dan mencintai ahlu bait dengan tulus ikhlas, Rasulullah saw menjanjikan surga, sebagaimana sabdanya :

يا علي ان اول من يدخل الجنة أنا وانت و فاطمة والحسن و الحسين. قلت يا رسول الله فمحبنا , قال من وارئكم.

‘Wahai Ali, sesungguhnya yang pertama-tama masuk ke dalam surga adalah saya, engkau, Fathimah, Hasan dan Husein. Aku (Ali) berkata : ‘Bagaimana dengan orang-orang yang mencintai kita (ahlu bait). Rasul saw menjawab : Mereka akan masuk surga setelah kalian’.[2]

Rasulullah saw bersabda :

انما سميت ابنتي فاطمة لان الله عز و جل فطمها وفطم محبيها من النار

‘Sesungguhnya dinamakan anakku dengan Fathimah dikarenakan Allah azza wa jalla memutuskan dia dan orang-orang yang mencintainya dari sentuhan api neraka’.[3]

Rasulullah saw bersabda :

انا اول الناس دخولا في الجنه ثم ذريتي ثم محبونا يدخل الجنة بغير حساب لا يسألون عن ذنبهم بعد المعرفة و المحبة

‘Aku orang yang pertama masuk ke dalam surga, kemudian keturunanku, kemudian orang-orang yang mencintai kita (ahlu bait) masuk surga tanpa dihisab dan mereka tidak ditanya akan dosanya setelah mereka mengenal dan mencintai (ahlu bait)‘.[4]

Rasulullah saw bersabda :

يا علي خلقت من شجرة و خلقت منها و أنا اصلها و انت فرعها والحسن و الحسين اغصانها ومحبونا اوراقها فمن تعلق بشيئ منها ادخله الله الجنة

‘Wahai Ali, aku dan engkau diciptakan dari sebuah pohon, Aku dahannya dan engkau cabangnya, Hasan dan Husein rantingnya dan orang-orang yang mencintai kita (ahlu bait) adalah daunnya. Siapa yang bergelantungan di salah satu pohoh itu, Allah swt masukkan ke dalam surga.[5]

Rasulullah saw bersabda :

اول من يرد على الحوض اهل بيتي ومن احبني من امتي

‘Yang pertama akan berkumpul di telaga Haudh adalah ahlu baitku dan orang-orang yang mencintaiku dari umatku’.[6]

Mungkin dibenak kaum muslimin terlintas pertanyaan mengenai siapa ahlu bait saat ini yang patut dicintai dan diikuti. Jawabnya adalah siapa saja dari kalangan ahlu bait yang perilakunya menyamai atau hampir seperti prilaku salaf (leluhur) mereka yang saleh, dan menempuh jalan mereka yang diridhai, maka ia adalah imam yang cahayanya dijadikan pelita penerang dan teladannya diikuti, seperti halnya para leluhur mereka yang berjalan di atas jalan hidayah. Sebab dari merekalah imam-imam besar di masa-masa yang lalu, seperti amirul mukminin Imam Ali bin Abi Thalib, al-Hasan dan al-Husein, Ja’far bin Abi Thalib, Hamzah, Abdullah bin Abbas, Abbas paman Nabi saw, Imam Ali Zainal Abidin bin Husein, Imam Muhammad al-baqir dan puteranya Imam Ja’far al-Shaddiq dan imam-imam lainnya dari ahlu bait yang disucikan, dari yang terdahulu sampai keturunan mereka yang datang kemudian.

Adapun mereka yang berasal dari ahlu bait tetapi tidak menempuh jalan leluhur mereka yang disucikan, lalu mencampuradukkan antara yang baik dan buruk disebabkan kejahilannya, seyogyanyalah mereka pun tetap dihormati sewajarnya, semata-mata disebabkan kekerabatan mereka dengan Nabi saw.

Namun siapa saja yang memiliki keahlian atau kedudukan untuk memberi nasehat, hendaknya tidak segan-segan menasehati mereka dan mendesak agar mereka kembali menempuh jalan hidup para pendahulu mereka yang baik-baik, yang berilmu, beramal saleh, berakhlaq mulia dan berperilaku luhur. Juga menegaskan bahwa mereka sebenarnya lebih utama dan lebih patut berbuat seperti itu, dan bahwa kemuliaan nasab saja tak akan bermanfaat dan tak akan meninggikan derajat, selama mengabaikan ketaqwaan, mencurahkan penuh perhatian pada dunia, meninggalkan amalan-amalan ketaatan serta menistai diri dengan berbagai maksiat.

Berkata al-Mutanabbi :

إذا لم تكن نفس الشّريف كأصله # فما الّذى تغنى رفاع المناصب

Bila jiwa sang bangsawan menyimpang dari leluhurnya

Tiada manfaat diperoleh walau tinggi kedudukannya.[7]

Tidaklah sepatutnya bagi seseorang yang diikuti, mengagung-agungkan atau menunjukkan puji-pujian kepada seorang jahil walau pun ia bernasab mulia atau dari keturunan orang-orang saleh. Sebab memuliakan dan memberi pujian yang ditujukan kepadanya secara terang-terangan adakalanya justru menjauhkannya dari kewajiban agamanya, mendorongnya untuk berani kepada Allah, membuatnya enggan melakukan amal-amal saleh dan menghalanginya daripada membekali diri untuk akhiratnya.

Dengan demikian, orang yang mengagung-agungkan dan memujinya ikut menjadi penyebab kerusakan dan penyimpangannya atau seperti orang yang sengaja hendak membinasakannya. Dengan itu pula, tentunya akan mendatangkan atas dirinya sendiri, murka Allah swt dan Rasul-Nya serta para salaf shalihin yang kepada mereka itulah berlanjut nasab si jahil tersebut, dan dengan mereka, ia merasa menjadi mulia. Sungguh mengherankan, betapa seseorang dapat terkelabui oleh nasab mulia semata-mata yang tidak diikutinya dengan nilai-nilai luhur?! Betapa ia mengandalkan itu sedangkan Rasulullah saw bersabda kepada putrinya tercinta :

يا فاطمة بنت محمد لا أغنى عنك من الله شيئا

‘Wahai Fathimah binti Muhammad, sungguh aku takkan cukup sebagai pembelamu di hadapan Allah swt’.[8]

Ada pula sebagian orang yang bila dikatakan pada mereka bahwa si fulan, yang termasuk anggota ahlu bait (keturunan Rasul saw), melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari agama atau mencampurbaurkan antara yang halal dan haram, maka mereka itu berkata : ‘Biarlah, ia adalah seorang ahlu bait. Rasulullah saw pasti akan memberikan syafaat untuk anak cucunya, dan mungkin pula dosa-dosa yang bagaimanapun tak akan menjadi mudarat atas mereka’. Sungguh ini adalah ucapan yang amat buruk, yang menimbulkan mudarat bagi si pembicara sendiri dan bagi setiap orang lainnya yang tergolong kaum jahil. Betapa seorang akan berkata seperti itu, sedangkan dalam alquran terdapat petunjuk bahwa anggota kelaurga Rasulullah saw dilipatgandakan bagi mereka pahala amal baiknya, demikian pula hukuman atas perbuatan buruknya, yaitu dalam firman Allah :

‘Hai istri-istri Nabi, barangsiapa di antara kamu melakukan perbuatan keji yang nyata, dlipatgandakan baginya siksaan dua kali lipat dan itu mudah bagi Allah. Barangsiapa di antara kamu tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal saleh, kepadanya Kami beri pahalanyanya dua kali dan Kami sediakan baginya rizki yang melimpah‘.[9]

Istri-istri Rasulullah saw adalah bagian dari keluarga rumah tangga beliau. Oleh sebab itu, siapa saja yang mengatakan atau mengira bahwa meninggalkan perbuatan ketaatan atau mengerjakan kemaksiatan tak mendatangkan mudarat bagi seseorang disebabkan kemuliaan nasabnya atau karena kebaikan amal serta pekerti luhurnya, maka orang itu sesungguhnya telah membuat dusta keji tentang Allah swt serta menyalahi ijma’ seluruh kaum muslimin.

Karena itu sudah selayaknya bagi para ahlu bait yang hidup saat ini, yang berada pada posisi di mana Allah swt berkehendak membersihkan kotoran pada mereka sebersih-bersihnya, agar selalu ingat anugerah yang telah diberikan-Nya kepada mereka dan selalu mengikat dengan kuat hubungan mereka dengan kitabullah serta menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhkan larangan-Nya.

Tanggungjawab ahlu bait yang paling penting adalah mereka harus mengetahui kedudukan mulia yang dimiliki Rasulullah saw serta keluhuran namanya, demikian pula sesuatu yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada beliau berupa keluhuran jiwa dan kesucian hati, serta bagaimana Rasulullah saw mendidik istri-istri dan anak cucunya dengan pengarahan yang baik serta pensucian jiwa yang matang agar rumah tangga beliau saw menjadi sebaik-baik rumah tangga di bumi dari segi akhlaqnya, amaliahnya, ilmu dan sopan santunnya, sebagaimana Rasulullah saw sendiri menjadi panutan yang diberkahi bagi kaum muslimin, yang wajib diikuti oleh setiap orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

‘Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah‘.[10]

Kehidupan, jihad, akhlaq dan kecintaan Rasulullah saw terhadap akhirat melebihi urusan keduniaan ini, yang tercermin dalam ibadah, zuhud, qiyamul lail dan dzikir beliau saw serta rasa takut dan tangis nya kepada Allah swt, sehingga ketika beliau ditanya oleh Siti Aisyah setelah melakukan qiyamul lail sampai kedua kakinya bengkak, ‘Mengapa engkau lakukan ini ya Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang kemudian?’. Rasulullah saw menjawab : ‘Bukankah dengan demikian aku menjadi seorang hamba yang sangat bersyukur’.

Apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw seharusnya menjadi dasar dan pedoman para ahlu baitnya yang hidup saat ini untuk mengikuti jejak datuknya Rasulullah untuk bersyukur terhadap kemuliaan yang Allah swt telah berikan kepada mereka. Dengan kedudukannya yang mulia, ahlu bait hendaklah menjadi para pembawa nasehat yang tulus bagi seluruh umat Islam dan bagi Allah serta Rasul-Nya, baik bagi kalangan ulama muslim ataupun bagi kalangan awam. Jauhkanlah hal-hal yang berbau khilafiyah (perselisihan yang berbahaya) serta waspada, tidak mendukung orang-orang yang selalu memihak hawa nafsunya dan terhadap fitnah yang mereka lontarkan yaitu berupa perkataan-perkataan dusta dan keliru mengenai hak kedudukan sebagian tokoh-tokoh ahlu bait yang suci, yakni pendapat mereka yang berseberangan dengan penjelasan alquran yang mulia dan sunnah Rasul saw serta bertentangan dengan logika, ketetapan agama yang sudah diyakini dan apa yang telah disepakati oleh golongan ahlu sunnah wal jamah sejak masa yang lalu.

Berbahagialah kalian wahai ahlu bait dengan nasab yang mulia ini, dan semoga umat Islam memohon agar Allah swt memberi pertolongan kepada mereka dalam mengemban tanggungjawab ini dan dalam menjalankan kewajiban-kewajiban ini agar mereka menjadi orang-orang yang selalu dicintai Allah swt dan diridhai oleh Rasul-Nya serta menjadi suri tauladan yang baik bagi umat Islam seluruhnya.

[1] Al-Syura : 23.

[2] Yanabi’ al-Mawaddah (2/46)

[3] Yanabi’ al-Mawaddah (2/64)

[4] Yanabi’ al-Mawaddah (2/69)

[5] Yanabi’ al-Mawaddah (2/69)

[6] Is’af al-Raghibin : 120

[7] Al-Fushul al-Ilmiyah : 83

[8] Al-Fushul al-Ilmiyah : 79

[9] Al-Ahzab : 30-31

[10] Al-Ahzab : 21.

Sumber : Benmashoor

[+/-] Selengkapnya...

Menumbuhkan Kesadaran Berzakat

HUKUM, URGENSI DAN HIKMAH ZAKAT
Ditengah-tengah berbagai krisis yang sedang melanda bangsa kita sekarang ini, sudah sepantasnya (bahkan seharusnya) apabila kita melihat secara lebih seksama dan sungguh-sungguh beberapa jalan keluar yang dikemukakan ajaran islam, yang kita yakini kebenarannya dan ketepatannya (QS. 2:2 ,QS. 2:147, QS. 17:9). Salah satunya adalah penataan zakat, infak dan shadaqah (ZIS) secara benar dan bertanggung jawab.

Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima'iyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis dan menentukan (Yusuf Qordhowi, Al Ibadah, 1993) baik dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan ummat. Sebagai suatu ibadah pokok zakat termasuk salah satu rukun Islam yang lima, seperti diungkapkan hadits nabi (Mus'id As-Sa'dani Al Arba'in An-Nawawiyyah, 1994) sehingga keberadaannya dianggap makhan min ad-dien bi adl-dlarurah (ketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman) (Ali Yafie, Fiqh Sosial, 1994). Di dalam Al Qu'ran terdapat kurang lebih 27 ayat yang mensejajarkan shalat dengan kewajiban zakat, dan hanya satu kali disebutkan dalam konteks yang sama akan tetapi dalam ayat berbeda, yaitu surat Al-Mukminun ayat 2 dengan ayat 4 (Yusuf Qardhawi, Fiqh Zakat, 1973).

Al Qur'an menyatakan bahwa kesediaan berzakat di pandang sebagai indikator utama kedudukan seseorang kepada ajaran Islam (QS. 9:5 dan QS. 9:11), sekaligus sebagai ciri orang yang mendapatkan kebahagiaan (QS. 23:4), akan mendapatkan rahmat dan pertolonganNya (QS.9: 71 dan QS. 22: 40-41). Kesadaran berzakat dipandang sebagai orang yang memperhatikan hak fakir miskin dan para mustahik (orang yang berhak mendapatkan zakat) lainnya (QS. 9:60), sekaligus dipandang sebagai orang yang membersihkan, menyuburkan dan mengembangkan hartanya serta mensucikan jiwanya (QS. 9:103 dan QS. 30:39).

Sebaliknya Al Qur'an dan hadits Nabi memeberkan peringatan keras terhadap orang yang enggan mengeluarkannya, berhak untuk diperangi (HR. Imam Bukhari dan Muslim dari sanadnya Ibnu Umar), harta bendanya akan hancur dirusak (HR. Imam Bazzar dan Baihaqi), dan apabila keengganan itu memasal, maka Allah SWT akan menurunkan ahzab Nya dalam bentuk kemarau yang panjang (HR. Imam Thabrani). Sedangkan di akhirat nanti, harta benda yang tidak dikeluarkannya akan menjadi azab bagi pemiliknya (QS. 9:34-35) dan HR. Imam Muslim dari sanadnya Jabir bin Abdullah. Karena itu Khalifah Abu Bakar Siddiq bertekad untuk memerangi orang yang mau shalat tetapi secara sadar dan sengaja enggan untuk berzakat (Sayid Sabiq, Fiqh Sunah, 1968). Abdullah bin mas'ud menyatakan bahwa, barang siapa yang melaksanakan shalat tetapi enggan melaksanakan zakat, maka tidak ada shalat baginya (abdul Qasim bin Salam, Al Amwaal, 1986).

Disamping zakat, dikenal pula infaq dan shadaqah, yang keduanya merupakan bagian dari keimanan seseorang, artinya infaq dan shadaqah itu merupakan ciri utama orang yang benar keimanannya (QS. 8: 3-4), ciri utama orang yang bertaqwa (QS. 2: 3 dan QS. 9: 134), ciri mu'min yang mengharapkan balasan yang abadi dari Allah SWT (QS. 35: 29). Atas dasar itu, infaq dan shadaqah sangat dianjurkan dalam segala keadaan, sesuai dengan kemampuan (Qs 3: 134). Jika enggan berinfaq, maka sama halnya dengan menjatuhkan diri pada kebinasaan (QS. 2: 195). Infaq dan shadaqah tidak ditentukan jumlahnya (bisa besar, kecil banyak atau sedikit) tidak ditentukan pula sasaran penggunannya, yaitu semua kebaikan yang diperintahkan ajaran Islam (QS. 2:213).

HIKMAH ZIS
Kewajiban zakat dan dorongan untuk terus menerus berinfaq dan bershadaqah yang demikian mutlak dan tegas itu, disebabkan karena di dalam ibadah ini terkandung berbagai hikmah dan manfaat yang demikian besar dan mulia, baik, bagi muzakki (orang yang harus berzakat), mustahik maupun masyarakat keseluruhan, antara lain tersimpul sebagai berikut :

Pertama, Sebagai perwujudan iman kepada Allah SWT, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi, menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus mengembangkan harta yang dimiliki.

Kedua, Menolong, membantu dan membina kaum dhuafa (orang yang lemah secara ekonomi) maupun mustahik lainnya kearah kehidupannnya yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus memeberantas sifat iri, dengki dan hasad yang mungkin timbul ketika mereka (orang-orang fakir miskin) melihat orang kaya yang berkecukupan hidupnya tidak memperdulikan mereka.

Ketiga, Sebagai sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang dibutuhkan oleh ummat Islam, seperti saran ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial dan ekonomi, sekaligus sarana pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) muslim.

Keempat, Untuk mewujudkan keseimbangan dalam kepemilikan dan distribusi harta, sehingga diharapkan akan lahir masyarakat marhammah diatas prinsip ukhuwah Islamiyyah dan takaful ijtima'i.

Kelima, Menyebarkan dan memasyarakatkan etika bisnis yang baik dan benar.

HARTA YANG DIKELUARKAN ZAKATNYA
Salah satu pembahasan penting dalam fiqh zakat, adalah menentukan sumber-sumber kekayaan (Al Amwal az zakawiyyah) yang wajib dikeluarkan zakatnya. Al Qur'an dan hadits secara ekslisit menyebutkan 7 (tujuh) jenis kekayaan yang wajib dizakati, yaitu emas, perak, hasil tanaman dan buah-buahan, barang dagangan, ternak, hasil tambang dan barang temuan (Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, 1986). Sementara itu menurut Ibnul Qoyim al Jauzi (Zaadul Ma'ad, 1925) bahwa zakat harta itu terbagi dalam empat kelompok besar ; pertama, kelompok tanaman dan buah-buahan, kedua, kelompok hewan ternak, ketiga, kelompok emas dan perak, dan keempat, kelompok harta perdagangan. Sedangkan rikaz (harta temuan) sifatnya hanya insidentil atau sewaktu-waktu. Disamping hal-hal tersebut sifatnya rinci, Al Qur'an menjelaskan pula yang wajib dikeluarkan zakat atau infaqnya, dengan kata-kata amwaal (segala macam harta benda , QS. 9:103) dan Kasabu (segala macam usaha yang halal, QS. 2:267).

"Dengan demikian, maka segala macam harta, usaha, penghasilan dan pendapatan dari profesi apapun yang halal apabila telah memenuhi persyaratan berzakat, maka harus dikeluarkan zakatnya."

Salah satu persyaratan penting dalam berzakat adalah nishab (harta yang telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketetapan syara', sedang harta yang tidak sampai pada nishabnya terbebas dari zakat). Nishab zakat penghasilan dan pendapatan pada umumnya dianalogikan pada nishab harta perdagangan yaitu sebesar 85 gram emas per tahun, dengan zakatnya 2,5 %. Bagi yang berpenghasilan tetap, zakatnya bisa dikeluarkan setiap bulan atau bisa pula setiap tahun, tergantung pada cara termudah untuk melakukannya. Adapun jika penghasilan tidak menentu waktunya, misalnya jasa konsultan proyek ataupun penghasilan lainnya, maka pengeluaran zakatnya pada saat menerimanya.

Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang kebutuhan pokok yang boleh dipotong terlebih dahulu (bukan keharusan) sebelum dikeluarkan zakatnya. Sebagian menyatakan terbatas hanya pada kebutuhan sandang, pangan dan papan, sebagian lagi menyatakan ditambah segala macam kebutuhan yang berkaitan dengan tugas (pekerjaan) seperti transportasi dan sebagainya. Sebenarnya jika melihat sejarah, yang lebih obyektif untuk menentukan muzakki adalah amil (pengelola) zakat. (cyp/pkpu)

Sumber : KH. Dr. Didin Hafidhuddin, M.Sc

[+/-] Selengkapnya...